Kamis, 10 Februari 2011

Chapter 6 - The Second Disguise

That's why I don't need to look back to my past..
All I have to do is looking toward my future..
There's something I have to do..
And something awaits for me..



"Synn?" suara seorang gadis membuyarkan lamunan Synn. Tampak Valvyora berdiri di sampingnya, memasang ekspresi khawatir. "Kau tidak apa-apa? Sepertinya dari tadi kau melamunkan sesuatu yang sangat serius."
    "O-oh, bukan apa-apa," sahut Synn.
    "Aku sebenarnya ingin mengajakmu ke kantin. Apa kau mau?"
    Synn tertegun. Dia baru menyadari bel istirahat sudah berbunyi dan teman-teman sekelasnya sudah berhamburan keluar kelas. "Hmm, boleh," jawab Synn.
    Mereka berdua pun berjalan bersama menuju kantin yang berada di lantai dasar gedung sekolah menengah atas. Selama mereka berjalan menyusuri lorong kelas-kelas, cukup banyak siswi yang berbisik-bisik memperhatikan mereka berdua.
    "Valv, " Synn merendahkan suaranya, "apa kau tahu kenapa siswi-siswi ini terus memperhatikan kita?"
    Mata Valvyora membulat sesaat, lalu tertawa kecil. "Kau belum tahu ya?"
    "Soal apa?" tanya Synn dengan volume suara normal.
    "Kau cukup populer di kalangan cewek-cewek lho."
    "Hee?"
    "Hihihihihi. Untuk ukuran cowok, kau ini termasuk cowok yang manis sih. Jadi banyak sekali cewek yang suka padamu. Tapi sepertinya mereka-mereka itu sedikit cemburu."
    "Cemburu kenapa?"
    "Cemburu aku bisa akrab denganmu. Mereka iri, aku bisa dekat denganmu dalam waktu singkat. Lucu ya? Karena mereka melihatmu sebagai cowok sih." Valvyora tertawa kecil lagi.
    Mau tidak mau Synn ikut tertawa kecil. Dia tidak pernah membayangkan akan terjadi hal seperti ini sejak pertama kali dia menyamar sebagai cowok.
    "Lama-lama aku bisa disangka pacarmu nih," sambung Valvyora, sambil masih tertawa.
    Synn dan Valvyora pun memasuki lift untuk turun menuju lantai dasar. Pintu lift membuka, memperlihatkan 5 orang siswa dari lantai atas berada di dalamnya. Mata Synn seketika membulat, menemukan seseorang yang dia kenal berada di antara siswa di dalam lift.
    "Hai Synn," sapa orang itu.
    "Refiro?"
    Synn dan Valvyora segera masuk ke dalam lift, sebelum pintu lift menutup otomatis dan lift melaju ke bawah.
    "Mau ke mana?" tanya Refiro pada Synn.
    "Kantin. Kau?"
    "Aku juga. Bagus, kita bisa mengobrol banyak." Refiro tersenyum.
    "Oya, kenalkan ini Valvyora," Synn menunjuk Valvyora. "Valv, ini Refiro."
    Valvyora menjabat tangan Refiro, tersenyum. "Jadi kau Refiro?"
    "Ho, kau sudah mendengar tentangku dari Synn?"
    "Iya. Semuanya, Refiro Lewis." Valvyora tersenyum penuh arti, namun tetap menahan petunjuk-petunjuk yang mungkin bisa dimengerti empat siswa lain di dalam lift.
    Refiro tersenyum, mengerti maksud Valvyora. "Sepertinya obrolan kita akan panjang."


***


Refiro, dengan nampan berisi makanan di tangannya, menghampiri meja Synn, lalu duduk di kursi di hadapan Valvyora.
    Valvyora sengaja memilih meja kantin kapasitas empat orang yang letaknya di sudut ruangan. Setidaknya bisa semakin memperkecil kemungkinan adanya orang yang menguping pembicaraan mereka. Walaupun sebenarnya, dengan tempat seluas dan siswa sebanyak itu, menguping pembicaraan siswa lain adalah hal yang cukup sulit.
    "Jadi," Refiro memandang Valvyora, "kau anak Dokter Syezierch ya? Aku baru menyadarinya."
    "Kau tahu Dokter Syezierch?" sahut Synn heran.
    "Tentu saja." Refiro melahap potongan pizza dari piringnya dan dengan cepat mengunyahnya. "Tetua Lewis, paman dari ayahku, adalah orang yang ditemui Dokter Syezierch saat batu itu hampir menghancurkan sebagian besar tubuh anaknya."
    "Jadi kau sudah tahu semuanya?" tanya Valvyora.
    "Tidak, tidak semua. Hanya tentang hal-hal yang diketahui oleh Tetua Lewis. Itu pun hanya hal-hal yang esensial."
    "Lalu tujuanmu..?"
    "Tentu saja membantu kalian. Aku akan mendukung apapun yang akan jadi tujuan kalian."
    "Kau Marv?" Valvyora semakin tampak sedang menginterogasi Refiro.
    "Ya."
    "Kekuatanmu?"
    "Bisa dibilang pengendali waktu."
    "Ho, kekuatan yang praktis. Apa ada impact-nya?"
    "Ya, ada. Akumulasi dari umurku sendiri."
    Mendadak Synn merasa hanya sebagai audience yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang mereka berdua bicarakan. Menepis pikiran itu, Synn meneguk jusnya sampai tersisa setengah gelas.
    "Dan kau tahu keberadaan 'mereka'?" lanjut Valvyora.
    "Ya. Tapi belum tahu 'mereka' itu siapa saja dan berapa jumlah mereka. Apa kau tahu?"
    "Aku juga belum tahu."
    "Tunggu," sahut Synn tiba-tiba. "Siapa 'mereka' yang kalian maksud?"
    "Marv lain," jawab Valvyora. "Tidak pernah diketahui berapa persisnya jumlah orang-orang yang memiliki kekuatan Marv, tapi desas-desusnya ada beberapa Marv yang berkumpul untuk melibatkan diri mereka dalam takdir Batu Deus."
    "Tapi tidak jelas juga apa tujuan mereka," sambung Refiro, "apakah mereka ingin mendukung hancurnya Edelstein seperti ramalan, ataukah mencegah Edelstein hancur."
    "Apa mereka terkait dengan pemerintah?" tanya Synn.
    "Setahuku sih tidak," jawab Refiro. "Pemerintah pun sepertinya tidak tahu. Seandainya mereka tahu, tidak peduli meskipun tujuan kelompok Marv itu adalah untuk melindungi Edelstein, pemerintah akan memilih untuk memburu dan memberantas mereka."
    "Mereka lebih percaya kekuatan militer mereka," komentar Valvyora, tertawa kecut. "Benar-benar tipe yang cepat bertindak seperti kebakaran jenggot. Mereka takut eksistensi mereka terancam."
    Sejenak mereka bertiga terdiam. Valvyora mengaduk-aduk jusnya sambil menatap kosong gelasnya.
    "Jadi," Refiro memecah keheningan, "apa rencana kalian berdua?"
    Valvyora melirik ke arah Synn, merasa Synn-lah yang sepantasnya menjawab pertanyaan itu.
    "Pertama,” ucap Synn, “aku ingin tahu apa saja yang diteliti oleh Styrax. Aku ingin tahu apa tujuan yang sebenarnya dari penelitian itu. Dan aku ingin tahu juga apa yang diteliti oleh kakakku. Setelah itu aku baru bisa memutuskan langkah selanjutnya."
    "Tapi data-data penelitian mereka bukannya sudah dimusnahkan pemerintah waktu eksekusi itu?" komentar Refiro.
    "Tidak juga," sahut Valvyora. "Di jurnal ayahku tertulis bahwa data itu dikirimkan ke rumah Dokter Leishredth di Agate. Artinya, data itu seharusnya masih ada." Valvyora melirik Synn. "Di komputer kakakmu mungkin?"
    Mata Synn terbelalak. "Astaga! Jangan-jangan yang diteliti kakakku adalah penelitian Styrax. Tapi setelah kakakku meninggal, aku menemukan komputernya terinfeksi virus. Semua data di dalamnya lenyap. Mungkinkah data itu pernah ada dalam komputer itu dan lalu dihancurkan oleh orang-orang militer yang datang ke rumah di Jade?"
    "Itu bisa saja," sahut Valvyora. "Tapi apakah mungkin ada kopiannya atau data-data di tempat lain?"
    "Sepertinya tidak. Ketika kami lari ke Jade, kakakku hanya membawa komputer itu. Tidak ada media penyimpanan lain."
    "Dan sangat berbahaya jika kakakmu mengkopinya ke internet," sahut Refiro. "Itu mustahil."
    "Jadi sudah hilang?" pandangan Valvyora kembali kosong.
    Ketiganya kembali terdiam.
    Lalu bel tanda berakhirnya waktu istirahat berbunyi. Valvyora dan Refiro segera beranjak dari kursinya. Synn menegak habis jusnya, sebelum berjalan menyusul kedua temannya menuju lift.
    Ketiganya terdiam di dalam lift berkapasitas sepuluh orang yang terisi penuh. Ketika lift berhenti di lantai dua, lantai di mana Synn dan Valvyora harus turun lebih dulu, Refiro berpesan pada Synn, “Pasti ada cara mengetahuinya.”


***


Malam itu, setelah yakin Feroz tidak menyadari rencananya, Synn kembali menyamar dan menyelinap keluar gedung asramanya menuju asrama putri, lengkap dengan wig dan piyama berupa rok terusan namun tanpa kacamata. Dan seperti sebelumnya, Valvyora sudah menunggu di lobby asramanya untuk membukakan pintu utama asrama. Dengan cepat, keduanya telah sampai di kamar Valvyora.
    “Malam ini sepertinya kita tidak bisa mengobrol terlalu lama,” ucap Valvyora, duduk di ranjangnya.
    Synn menghampiri Vavyora, duduk di sampingnya. “Kenapa?”
    “Aku menemukan informasi bahwa pengamanan sekolah sedikit diperketat, entah karena apa. Jadi kita hanya punya waktu satu atau dua jam saja.”
    “Hmm, aku rasa tidak masalah,” sahut Synn. “Aku hanya ingin tahu tentang isi jurnal ayahmu.
    Valvyora bangkit dari ranjangnya, lalu mengambil beberapa lembar kertas di atas mejanya. “Ini baru saja aku print siang tadi. Kau bisa membacanya sendiri.” Dia menyodorkan kertas-kertas itu pada Synn, lalu kembali duduk di atas ranjangnya.
    “Isi jurnal ayahmu?”
    “Tepatnya dari yang aku ingat dan yang berkaitan dengan dirimu. Ada mengenai ketika kau seharusnya sudah meti ketika insiden di bus itu dan analisa yang berkaitan dengan itu, termasuk juga analisa tentang kekuatanmu.”
    Synn mengangguk, memandangi tulisan-tulisan yang tercetak di atas kertas-kertas itu, lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
    “Lalu, apa saja yang kau tahu tentang Styrax?”
    Valvyora menghela napas sejenak. “Styrax berawal dari saat ayahku mendapat informasi mengenai Batu Deus dari Tetua Lewis, yaitu tahun 2999. Ayahku menghubungi ayahmu dan lalu menceritakan semuanya. Setelah itu ayahmu dan ayahku mengumpulkan orang-orang yang mereka percayai untuk mengadakan penelitian tersembunyi terhadap Batu Deus. Dan memang tujuannya juga adalah untuk mengeluarkan batu itu dari dalam tubuhku tanpa memberikan efek apapun padaku dan juga pada dunia.Lalu dimulailah penelitian itu tahun 3000.”
    “Saat aku pindah ke Pearl,” sambung Synn.
    “Ya, aku dengar ayahmu membawa seluruh keluarganya pindah ke Pearl. Dan pada tahun kelima berjalannya penelitian itu, kau tahu apa yang terjadi.”
    Synn tertunduk lemah. “Aku dan kakakku menyelamatkan diri pulang ke Agate.”
    Valvyora memandang simpati pada Synn, merasa sangat paham apa yang sedang dirasakan oleh Synn. Dan setelah apa yang dialami Synn, Valvyora merasa kagum Synn selalu berusaha tegar meski luka yang dirasakannya begitu dalam.
    “Valv,” mata Synn bertemu dengan mata Valvyora, “boleh aku tanya sesuatu?”
    “Hmm, boleh.”
    “Bagaimana ayahmu bisa lolos dari eksekusi?”
    “Saat petugas militer melakukan invasi di Pearl, ayahku sedang berada di Green State untuk mengumpulkan data keseluruhan ramalan dari tetua di sana. Karena itulah dia bisa diselamatkan oleh anggota-anggota lainnya dengan tidak menyebut namanya.”
    “Seandainya saat itu ayahmu tidak berada di Green State dan dieksekusi bersama anggot Styrax lain, mungkin aku juga sudah mati.”
    “Yah, mungkin memang ini yang sudah digariskan.”
    “Lalu,” Synn tampak sangat ragu, “ng... Kau pernah bilang ‘almarhum ayahku’. Apa yang terjadi?”
    Mendadak pandangan Valvyora berubah sayu. “Jurnal itu terhenti ketika kau dan kakakmu lari ke Jade. Saat itu pemerintah mengetahui keberadaannya, entah dari siapa. Dan setelah kalian lari, ayahku tertangkap dan dibunuh oleh mereka.”
    “Maafkan aku,” Synn tertunduk, merasa sangat bersalah. “Mungkin kalau beliau tidak menolongku, kalau dia tidak berurusan denganku, mungkin saja dia tidak akan...”
    “Ini semua bukan salahmu.” Valvyora menepuk pundak Synn. “Aku sudah bilang kan, mungkin memang ini yang sudah digariskan. Lagipula kita juga tidak tahu bagaimana bisa informasi soal Styrax bocor ke pemerintah.”
    “Benar juga. Bagaimana bisa ya? Seolah ada yang mengetahui semua. Mungkinkah ada pengkhianat di antara anggota Styrax?”
    Valvyora menggeleng. “Termasuk ayahku, semuanya telah dihukum mati. Tidak ada yang tersisa.”
    “Lalu siapa? Mungkinkah Marv lain yang melakukannya? Atau ‘mereka’ yang kalian sebut-sebut tadi?”
    “Entahlah. Tapi itu bisa saja terjadi. Sayangnya kita belum menemukan cara untuk mendapatkan informasi tentang itu.”
    Synn mengacak-acak rambutnya, frustasi. “Haah, bagaimana caranya kita bisa mengumpulkan puzzle-puzzle ini?”
    “Tenanglah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita. Makanya, kita pasti bisa menemukan caranya. Ditambah lagi, kita sekarang tidak lagi berdua. Ada Refiro, yang aku yakin sangat bisa diandalkan.” Valvyora melirik jam hologram di dinding kamarnya. “Dan sepertinya kau harus segera kembali ke kamarmu.”
    Synn mengangguk, segera beranjak menuju pintu kamar Valvyora.
    “Untuk setelah ini, kita diskusikan bertiga,” pesan Valvyora, sebelum Synn keluar, meninggalkan asrama putri.
    Sambil tetap waspada, Synn berjalan menuju gedung asramanya. Namun tiba-tiba Synn merasakan kehadiran seseorang yang asing. Synn menghentikan langkahnya, lalu memandang berkeliling dengan waspada. Samar-samar dia merasakan aura Marv pada orang itu.
    “Wah wah wah, sepertinya kau menyadari keberadaanku ya?”
    Synn tersentak, mendapati sosok sang pemilik suara meluncur turun dari atap gedung asrama putri. Gadis berambut cokelat sebahu itu kini berdiri di hadapan Synn. Umurnya kira-kira sama dengan Synn, dan sekilas mata dan wajahnya mirip seseorang.
    “Siapa kau?” sergah Synn.
    “Hmm, aku mengawasimu sejak kau masuk ke gedung asrama putri malam sebelumnya. Sangat mencurigakan kau berkeliaran di tengah malam begini dan lagi ini yang kedua kalinya.”
    “Kau sendiri siapa? Mengawasi gerak-gerik orang di lingkungan sekolah ini malam-malam begini.”
    “Oh, berarti aku juga mencurigakan ya?” Gadis itu tertawa kecil. “Sebenarnya mencurigakan atau tidak tergantung dari sudut pandang subyeknya juga lho.”
    “Aku tanya, siapa kau!” Synn semakin tidak sabar. Dia merasa gadis itu bukan ada di pihaknya.
    “Namaku Lamera, yang pastinya kau sudah tahu aku adalah Marv. Info tambahan, aku juga disebut Metallist. Dan kau,” gadis bernama Lamera itu meluncur mendekati Synn, menyentuh dagu Synn. “Marv juga kan.”
    Synn menepis tangan Lamera lalu melompat menjauh. Sayangnya, gerakannya yang tiba-tiba membuat wignya terlepas, menampakkan rambut aslinya yang pendek.
    “Bagaimana kau bisa menyebutku seorang Marv?”
    “Ho, kau laki-laki?” Mata Lamera membulat. “Aku pikir karena rambutmu panjang dan suaramu sedikit lembut, kau ini perempuan. Wah wah wah, apa yang kau lakukan masuk ke asrama putri malam-malam begini. Hihihihihi... Seandainya tidak ada pertemuan khusus, kau bisa dikira habis bercinta dengan seorang siswi di kamarnya.”
    “Jangan bercanda! Kau ingin membuatku mengulangi pertanyaanku?” Synn benar-benar tidak sabar.
    “Baik, baik. Malam sebelumnya saat kau masuk ke asrama putri pertama kali, kau membuat semacam pelindung dari kekuatanmu kan? Itu membuatku tidak bisa mendengar semua hal yang kalian bicarakan. Tapi malam ini, sepertinya kau lupa memasangnya.”

Selasa, 07 Desember 2010

Chapter 5 - The Past [part 2 : The Murder]



You can't go back to the past..
Even when you really want to repair it..
No matter how hard you try..
The past can't be changed..



"Kak, aku pergi dulu ya." Synn berdiri di samping kakaknya, dengan rambut cokelatnya yang rapi dikucir kuda.
    Cruz melepas computer-glasses-nya. "Lho, jadi pergi?"
    "Iya. Aku pergi dengan Mai. Kakak tidak ikut?"
    "Maaf, kakak sibuk. Ini benar-benar tidak bisa ditinggal. Kau bersenang-senanglah. Tapi hati-hati ya."
    "Ah kakak. Aku kan sudah dua belas tahun." Synn mengerucutkan bibirnya.
    Cruz tertawa kecil. "Iya iya. Oya, soal kekuatanmu..."
    "...yang dinyatakan sebagai bentuk mutasi itu kan?" sambung Synn. "Kenapa?"
    "Kakak baru dapat informasi dari salah satu tetua Blue State. Katanya orang yang memiliki kekuatan itu adalah orang-orang tertentu saja dan disebut Marv. Tapi karena kemungkinan itu bisa membahayakan dirimu sendiri, lebih baik jangan gunakan di depan orang banyak."
    "Baik, Kak." Synn mengangguk. "Ngomong-ngomong, proyek apa sih yang dikerjakan kakak? Sepertinya lebih berat dari biasanya." Synn menghampiri kakaknya, curi-curi pandang ke arah computer-glasses.
    "Yah, memang kakak baru terima proyek besar. Makanya, doakan berhasil ya."
    "Pasti dong Kak. Pokoknya jangan sampai lupa makan dan istirahat saja."
    "Iya." Cruz tersenyum.
    "Nah, aku pergi dulu ya." Synn setengah berlari menuju pintu, melambaikan tangannya. Cruz membalasnya dengan senyuman simpul, lalu kembali berkutat dengan komputernya setelah Synn hilang dari pandangannya.
    Dengan napas tersengal-sengal, Synn akhirnya tiba di halte bus yang jaraknya dua kilometer dari rumahnya. Mai, yang sudah tiba duluan di halte, setengah tidak percaya jika benar Synn berlari dari rumahnya, setelah sepuluh menit lalu Synn menelepon Mai untuk memberitahu bahwa dia baru saja berangkat dari rumah.
    "Kau tadi lari dari rumah sampai sini?" tanya Mai.
    "Tentu saja," sahut Synn yakin dengan jempol teracung.
    "Dasar maniak olahraga."
    Untunglah Synn tepat waktu. Bus berikutnya tiba tak lama kemudian. Mereka berdua pun segera masuk ke dalam bus yang sudah hampir penuh itu. Kebanyakan penumpangnya adalah anak-anak seumuran mereka yang juga sedang berlibur. Melihat ada dua kursi bersebelahan yang kosong di bagian agak belakang, Synn dan Mai cepat-cepat mendudukinya sebelum didahului orang lain. Dan Synn memilih duduk di dekat jendela.
    "Hore, kita dapat kursi yang nyaman," ucap Mai girang. Synn juga tersenyum senang. "Liburan kali ini harus menyenangkan. Karena kita jadi jarang bertemu sejak kau pindah ke Pearl. Sudah begitu aku juga pindah ke rumah yang agak jauh dari rumahmu. Aku kan kangen."
    "Sudah, sudah. Jangan berlebihan begitu." Synn menjitak pelan kepala Mai.
    Bus yang mereka tumpangi pun melaju, membawa seluruh penumpangnya ke daerah wisata kota Agate.
    "Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak kembali ke sekolah?" tanya Mai.
    "Yah, maunya begitu. Tapi kondisi belum memungkinkan. Tapi selama ini kakakku membantuku belajar lewat kurikulum home-schooling di net."
    "Begitu ya? Tapi aku benar-benar kesepian tanpa kamu."
    "Sama kok. Aku juga."
    Tiba-tiba bus berhenti mendadak. Rupanya sebuah mobil militer berhenti di depan bus. Para petugas militer yang jumlahnya kira-kira 10 orang keluar dari mobil itu, lalu menyerbu masuk ke dalam bus, berdiri berjajar di sekitar bagian depan bus. Seluruh penumpang terkejut, beberapa gemetar ketakutan seolah bisa menebak apa yang akan terjadi lima menit ke depan. Synn sendiri merasakan firasat buruk, tetapi dia berusaha tetap tenang dan membaca situasi.
    "Perhatian semuanya," seseorang dengan pangkat komandan angkat bicara. "Saya mendapat informasi bahwa di bus ini ada orang yang dipercaya memiliki kaitan erat dengan obyek penelitian Styrax. Oleh karena itu, saya mendapat perintah untuk melakukan pembersihan di sini. Laksanakan!" perintah sang komandan kepada anak buahnya.
    Apa? jerit Synn dalam hati.
    Tetapi belum sempat seluruh penumpang menyadari maksud omongan sang komandan, mereka sudah dihujani dengan tembakan, dimulai dari penumpang yang duduk di kursi penumpang bagian depan. Darah berceceran di mana-mana, jeritan ketakutan terdengar begitu mengerikan dan memilukan. Mereka semua benar-benar dibantai.
    Synn menunduk, panik setengah mati, menutupi kepalanya dengan tangan, memaksa dirinya untuk tidak menjerit, sementara orang-orang yang duduk di kursi-kursi di depannya ditembaki hingga mati. Dia merasakan tubuhnya gemetar ketakutan.
    Sementara itu Mai, yang terlalu terpaku pada ketakutan atas pembantaian di depan matanya, dikejutkan oleh salah seorang petugas militer yang menodongkan senapannya ke arah kepalanya. Seketika itu juga sebuah peluru menembus dahinya.
    "TIDAAAAK!!!" Synn menjerit, menerjang memeluk Mai yang sudah tak bernyawa. Tetapi petugas militer itu segera mengarahkan senapannya ke arah kepala Synn dan menembak pelipisnya.
    Synn terjatuh di atas tubuh Mai. Pandangannya memudar, digantikan dengan kegelapan yang pekat. Dia merasakan panas yang amat sangat dari pelipisnya yang tertembus peluru, tetapi tidak ada rasa sakit. Aneh. Dia masih setengah sadar. Dia bisa mendengar sang komandan pasukan bicara kepada anak buahnya tentang kepastian bahwa semua penumpang bus beserta supirnya sudah mati. Dia bahkan bisa mendengar napasnya yang mulai memburu, menahan sakit yang mulai muncul dari pelipisnya.
    "Hei, yang ini masih bernapas," celetuk salah satu petugas militer yang berdiri di samping kursi yang diduduki Synn dan Mai.
    "Bagaimana bisa...? Aku sudah menembak kepalanya," sahut petugas yang menembak Synn dan Mai, merasa yakin dia tadi sudah membunuh mereka.
    "Tunggu apa lagi? Pastikan semuanya mati," perintah sang komandan.
    Si penembak Synn menempelkan senapannya ke tengah dada Synn, lalu menembaknya. Synn merasakan panas yang luar biasa di dadanya, lalu perlahan kesadarannya memudar.
    Aku tidak boleh mati, bisik hati kecil Synn.
    "Ledakkan bus ini," perintah sang komandan. "Pastikan tidak ada yang tersisa."
    "Siap!"
    Samar-samar Synn mendengar orang-orang militer itu pergi. Tak lama kemudian, muncul suara seseorang mendobrak pintu bus. Dia merasakan seseorang mengangkat tubuhnya dan membawanya berlari entah ke mana. Detik berikutnya, dia mendengar ledakan yang begitu keras memekakkan telinga, lalu kesadarannya benar-benar menghilang dalam dekapan seseorang yang tidak dia kenali.


***


"Synn," suara seseorang yang sangat dikenal Synn bergaung di telinganya. Perlahan mata Synn terbuka, menemukan sosok kakaknya duduk di samping ranjangnya.
    "Kakak," sahut Synn lemah. "Di mana ini?"
    "Ini di rumah Dokter Syezierch, teman dekat ayah," jelas kakaknya.
    Lalu masuklah seorang pria yang kira-kira usianya sama dengan ayah Synn. Rambutnya berwarna perak dan iris mata cokelatnya begitu teduh. Sesaat Synn merasa rindu pada sosok ayahnya. Pandangan teduh pria itu begitu mirip dengan ayahnya.
    "Bagaimana perasaanmu?" tanya pria itu kepada Synn.
    "Tidak terasa apa-apa," jawab Synn lemah.
    Pria itu tertawa kecil. "Jawabanmu unik. Kenalkan, saya Dokter Syezierch, teman ayahmu. Ajaib kau bisa selamat dari dua tembakan mematikan di daerah vital," ucapnya, sembari memeriksa Synn.
    "Saya sempat merasa ada seseorang yang menggendong saya setelah saya tertembak. Apakah itu anda?"
    "Ya," jawab Dr. Syezierch, tersenyum. "Bus itu diledakkan tak lama setelah aku membawamu keluar."
    "Bagaimana anda tahu saya ada di dalam bus itu?"
    "Ceritanya panjang dan saya rasa tidak penting. Ada yang lebih penting untuk kalian ketahui dan harus lakukan." Selesai memeriksa Synn, Dr. Syezierch duduk di kursi di samping ranjang Synn. "Saya rasa kondisimu sudah memungkinkan untuk mendengar apa yang akan saya katakan."
    "Tentang apa?" tanya Cruz. Ekspresi cemasnya tak pernah hilang, dibalik garis keletihan di wajahnya. Jelas sekali menampakkan bahwa dia khawatir setengah mati setelah kejadian yang menimpa adiknya.
    "Ada sesuatu yang membuat kalian berada dalam bahaya. Dan rupanya ada pihak yang ingin membunuh Synn. Aku tidak bisa menjelaskan apa sebabnya. Tetapi kini mereka yakin Synn sudah meninggal di dalam bus itu.  Satu-satunya jalan keluar agar Synn aman adalah dengan mengubah identitasnya. Kita harus membuat mereka benar-benar yakin bahwa Synn benar-benar telah tewas." Dr. Syezierch mengerling pada Synn. "Akan lebih meyakinkan jika kau mau menyamar menjadi anak laki-laki. Itu lebih efektif untuk menyembunyikan identitas aslimu."
    "Jadi anak laki-laki?" tanggap Synn lemah.
    "Ya." Mata biru Synn bertemu dengan mata cokelat Dr. Syezierch. "Tapi sebaiknya kau tidak berpikir berat-berat dulu. Pulihkan dulu dirimu. Sisanya, urusan saya dengan kakakmu." Dr. Syezierch bangkit berdiri, mengerling pada Cruz, lalu berjalan keluar kamar. Seakan mengerti maksudnya, Cruz pun bangkit dan berjalan mengikuti Dr. Syezierch.
    Dan lalu perlahan, Synn merasa sangat mengantuk sampai akhirnya kembali tertidur.


***


"Rambutmu jadi harus dipotong," ucap Cruz, memperhatikan penampilan baru Synn.
    "Tidak apa-apa," sahut Synn. "Jadi lebih ringkas kok."
    "Lalu soal nama, mungkin lebih baik kau pakai nama keluarga Carnelian. Tidak terlalu mencolok dan itu nama yang umum."
    "Terserah saja deh kak. Aku menurut saja." Synn tersenyum.
    Cruz menepuk kepala Synn pelan. "Apapun yang terjadi pada kita, jangan pernah menyalahkan siapapun ya. Ini memang bukan keadaan yang kita inginkan, tapi yakinlah suatu saat kita bisa menjalani hidup yang lebih baik."
    Synn mengangguk pasti. "Iya, kak. Dan lagi aku bersyukur aku bisa pulih sepenuhnya selama setahun ini."
    "Yah, ini semua berkat terapi dari Dokter Syezierch dan kemampuan luar biasamu."
    "Synn, Cruz, aku mohon kalian segera berkemas," ucap Dr. Syezierch, tiba-tiba menghambur masuk ke dalam kamar yang ditempati Synn.
    "A-apa maksudnya?"
    "Cruz, kembalilah ke rumahmu, ambillah apa yang harus kau ambil. Lalu larilah ke kota Jade, ke tempat ini." Dr. Syezierch menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat. "Tinggallah di rumah itu. Di sana lebih aman untuk sementara."
    "Ta-tapi kenapa...?"
    "Cepatlah!" perintah Dr. Syezierch, tampak sangat panik.
    Cruz dan Synn segera mengikuti perintah Dr. Syezierch, mengemasi semua barang-barang mereka, lalu bergegas pergi dari rumah Dr. Syezierch tanpa sempat memahami alasan mereka harus segera pergi.
    Sesuai perintah Dr. Syezierch, Cruz dan Synn kembali ke rumahnya dahulu. Dan hanya satu hal yang dipahami Cruz : dia harus membawa komputernya. Bahwa yang dimaksud Dr. Syezierch "mengambil hal yang penting" adalah membawa semua data Styrax. Apakah alasan mereka harus lari ke kota Jade ada hubungannya dengan data Styrax?
    Setelah yakin membawa semua hal yang penting, Cruz dan Synn segera menuju capsule express station, bersiap menuju kota Jade.


***


"Kak," panggil Synn tiba-tiba. "Apa kakak mengetahui sesuatu tentang apa yang terjadi?"
    Cruz melepas computer-glasses-nya. "Tentang apa?"
    "Tentang kenapa kita harus melarikan diri seperti ini."
    Sesaat Cruz tertegun. "Kau sudah menanyakan tentang ini beberapa kali. Kau benar-benar ingin tahu?"
    "Tentu saja," sahut Synn mantap.
    Cruz menepuk kepala Synn. "Sebenarnya hal-hal seperti itu tidak perlu kau pikirkan. Kau hanya perlu memikirkan apa yang akan kau lakukan di masa depan. Yakinlah, kita akan selalu baik-baik saja." Cruz tersenyum pada adiknya.
    Synn memandang wajah kakaknya, sedikit merasa ragu. Tapi lalu dia membalas senyuman kakaknya. "Iya, kita pasti baik-baik saja."
    Synn berjalan menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari ruang komputer kakaknya. Dia mengambil setoples kue di lemari atas, membawanya ke depan televisi, duduk di sofa, lalu menyalakan televisinya.
    "Ngomong-ngomong kak, apa kakak sudah mendapatkan kabar dari Dokter Syezierch?" Synn membuka tutup toples di pangkuannya, mengambil satu kue dari dalamnya, lalu menggigitnya.
    Cruz meletakkan kembali computer-glasses-nya ke atas meja. "Belum. Selama tiga tahun ini kakak sama sekali tidak mendapat kabar apapun dari beliau. Kalaupun dia tertangkap, seharusnya ada berita tentang itu. Kakak juga tidak berani melakukan kontak. Justru membahayakan beliau dan kita juga."
    Synn menatap kosong kue di tangannya. "Semoga tidak terjadi apa-apa padanya."
    "Ya. Semoga beliau baik-baik saja."
    "Astaga!" Synn menepuk dahinya.
    "Apa? Kenapa?" sahut Cruz, mendadak berdiri dari kursinya.
    "Ah, tidak." Synn menggaruk-garuk kepalanya. "Aku melupakan sesuatu." Synn melahap sisa kue di tangannya, menutup kembali toples kuenya dan meletakkannya di atas meja di depan sofa, lalu mematikan televisinya dan berdiri. "Ada sesuatu yang harus aku beli di minimarket. Aku pergi dulu ya."
    "Hm? Ya, hati-hati."
    Setengah berlari, Synn keluar dari rumah menuju minimarket yang jaraknya dua ratus meter dari rumah yang dia tempati.
    "Bodoh sekali aku ini," ucap Synn pelan kepada dirinya sendiri. "Padahal kemarin sudah direncanakan, tapi kenapa hari ini malah lupa ya? Aku ingin sekali bisa membuat kakak senang. Dan hari ini akan jadi hari ulang tahunnya yang spesial."
    Synn bersiul-siul riang, memasuki minimarket. Dia memilih bahan-bahan yang dia butuhkan untuk membuat masakan kesukaan kakaknya. Sebenarnya dia tidak begitu pandai memasak seperti ibunya, tapi dia hapal betul resep masakan yang satu itu sehingga dia yakin dia pasti bisa membuatnya dengan sukses.
    Selesai membeli semua bahan, Synn berjalan pulang sambil tetap bersiul-siul.  Ketika membelok di tikungan terakhir menuju rumahnya, sebuah mobil militer berpapasan dengan Synn. Synn tersentak. Jangan-jangan mobil itu tadi dari rumah yang dia tempati. Merasakan firasat buruk, Synn segera berlari kembali ke rumahnya.
    Synn menjeblak pintu rumahnya dengan kasar. Alangkah terkejutnya dia menyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya. Tubuhnya membatu di tempat. Tangannya mulai gemetar, mendekap mulutnya. Air matanya pun mulai merembes keluar.
    Di tengah ruangan, sosok seseorang yang sangat disayangi oleh Synn, bersimbah darah. Kedua tangannya direntangkan dan diikat ke arah berlawanan, seperti disalib, tetapi dengan posisi yang sangat rendah sehingga seolah sedang berlutut.
    "Kakak!!!" Synn menghambur masuk, menghampiri kakaknya.
    "Synn?" sahut Cruz lemah. Darahnya tampak keluar dari seluruh pori-pori kulitnya, membuat tubuhnya bermandikan darah.
    "Bertahanlah kak, akan aku panggil dokter."
    "Tidak usah...," sahut Cruz, terbatuk-batuk. "Ini... racun Agni." Mata Synn terbelalak. "Tak ada... yang... bisa dilakukan... dokter manapun."
    Mendengar itu, air mata Synn semakin deras membanjiri pipinya.
    "Dengarlah... Pergilah ke Pearl... Grazzleford Highschool... Takdirmu... ada di sana..."
    Setelah mengucapkan itu, tubuh Cruz jatuh pada tumpuan di kedua tangannya, tak bernapas.
    "Tidak..." Synn mendekap mulutnya. "Kak..?! Kakak??" meraih wajah kakaknya, mengguncangnya perlahan. "Kak, jangan tinggalkan aku. Kakak!!" Synn memeluk erat tubuh kakaknya yang sudah tidak bernyawa. "TIDAAAAAK!!!!!"

Minggu, 28 November 2010

Chapter 5 - The Past [part 1 : The Execution]



Memories will never be forgotten...
No matter how deep they hurt you...
But, the present will never come...
If the past doesn't happen...



"Synn, Cruz, jangan main jauh-jauh ya."
    "Iya Bu," jawab si anak laki-laki, lalu menggandeng tangan adik perempuannya. Mereka berdua berjalan menuju taman bermain di dekat villa mereka di kota Pearl.
    Matahari sudah mulai turun. Udara sekitar pun sudah mulai terasa sejuk. Kedua saudara itu berjalan bergandengan dengan sukacita.
    "Kita mau ke mana, Kak Cruz?" tanya si adik.
    "Ke taman bermain. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan," jawab Cruz.
    "Apa? Kejutan ya?" Mata Synn tampak berbinar-binar.
    "Iya." Cruz tersenyum.
    Akhirnya mereka tiba di taman bermain yang mereka tuju. Tidak banyak anak yang bermain saat itu. Hanya ada beberapa saja yang bermain di areal halang rintang.
    Cruz mengajak adiknya menuju miniatur rumah yang hanya cukup dimasuki oleh anak seumuran mereka, yang pada pegangan pintunya tergantung kertas karton yang bertuliskan "Dilarang Masuk". Synn sedikit heran, kenapa kakaknya justru membawanya ke tempat yang tidak boleh dimasuki. Tetapi dengan enteng sang kakak malah melepas karton itu, lalu mengeluarkan selembar syal dan menutup mata Synn dengan syal itu. Cruz membuka pintu rumah-rumahan itu lalu perlahan menuntun Synn masuk ke dalam. Setelah keduanya berada di dalam dan Cruz menutup pintunya, syal yang menutup mata Synn pun dilepas.
    "Selamat ulang tahun yang kesembilan, adik manisku."
    Seketika tampaklah pemandangan yang menakjubkan bagi Synn. Seluruh bagian dalam rumah itu penuh dengan boneka beruang kesayangan Synn, dan semuanya adalah bonekanya yang ada di rumahnya di Agate.
    "Kakak memindah ini semua dari rumah?" tanya Synn, setengah tidak percaya.
    "Iya." Tedengar nada bangga dari jawaban Cruz.
    "Ya ampun Kak, terima kasih." Mata Synn tampak sangat berbinar-binar, senyuman pun terkembang di wajahnya.
    "Kau suka?"
    "Tentu saja," sahut Synn mantap. "Tapi, sebenarnya tidak perlu sampai memindahnya ke rumah-rumahan ini kan? Ini kan tempat umum. Sampai melarang orang lain masuk begini."
    Untuk pertama kalinya Cruz merasa bahwa perbuatannya menggunakan tempat umum untuk menyiapkan kejutan bagi adiknya adalah perbuatan yang bodoh. "Kalau di villa, nanti kamu tahu sebelum waktunya," jawab Cruz, berkelit.
    "Iya juga, ya," sahut Synn polos.
    "Yah, sejak kita sekeluarga pindah ke Pearl karena proyek ayah lima tahun lalu, sepertinya kau begitu merindukan rumah. Terutama boneka-bonekamu ini. Jadi kuputuskan untuk membawa semua bonekamu ke sini."
    Synn mengambil boneka beruang besar yang didudukkan di atas satu-satunya kursi yang ada di dalam rumah-rumahan itu, lalu memeluknya. "Aku merindukan Barry. Aku juga merindukan kalian semua. Terima kasih ya Kak." Synn memberikan senyuman lembutnya untuk kakaknya. "Tapi ngomong-ngomong, bagaimana caranya memindahkan boneka-boneka ini ke villa?"
    Ups. Tampaknya itu belum terpikirkan oleh Cruz. "Oh, itu na-nanti diangkut dengan mobil ayah," jawab Cruz cepat. Tapi sepertinya itu memang cara yang terbaik dan satu-satunya. Itu berarti dia harus meminta tolong pada ayahnya lagi.
    "Oh," sahut Synn polos.
    "Oke, sekarang kita pulang yuk. Sudah hampir malam."
    "Barry aku bawa, ya Kak."
    "Ya."
    Mereka berdua keluar dari miniatur rumah itu, lalu tak lupa Cruz menutup rapat pintunya dan memasang kembali tanda "Dilarang Masuk" pada pegangan pintunya sebelum berjalan pulang kembali ke villa.
    Matahari sudah semakin condong ke barat. Udara pun semakin dingin saja. Tetapi senyuman bahagia sama sekali tidak hilang dari wajah Synn. Dia begitu bersyukur memiliki orang tua dan kakak yang begitu menyayanginya. Dengan kepolosannya, Synn berharap kebahagiaan ini akan terus dapat dia rasakan sampai seumur hidupnya.
    Sampai di depan villa, Synn dan Cruz terkejut. Sebuah truk militer terparkir di depan villa keluarga mereka. Cruz yang merasakan firasat buruk, menggenggam erat tangan adiknya, lalu mencari tempat sembunyi yang sekiranya masih bisa mengamati apa yang terjadi di dalam villa.
    Tiba-tiba ibu mereka berlari keluar dari villa. Tubuhnya babak belur, pipinya lebam dan sudut bibirnya berdarah. Dua orang petugas militer mengejar ibu mereka. Melihat itu, Synn menangis dan hampir berlari menuju ibunya. Tetapi Cruz menahan adiknya kuat-kuat.
    Petugas militer itu berhasil menahan ibu mereka, bermaksud menyeretnya kembali ke dalam. Tetapi sang ibu memberontak sekuat tenaga, membuatnya sekali lagi menerima tamparan di pipinya.
    "Ibuuu!!!" teriak Synn. Cruz segera membungkam mulut Synn.
    "Synn, Cruz, larilah!!! Selamatkan diri kalian!!" teriak ibunya ke arah jalan, berharap anak-anaknya mendengar suaranya.
    Mendengar itu, Cruz segera membawa adiknya lari menjauhi villa.
    "Tidak!! Ayah! Ibu!" Synn meraung.
    Cruz mengacuhkannya. Yang ada di pikiran Cruz saat ini hanya menyelamatkan dirinya dan adiknya. Bahwa hidup mereka sedang dalam bahaya saat ini. Dan tempat tujuan untuk melarikan diri yang terpikirkan oleh Cruz satu-satunya adalah rumah mereka di Agate, Blue State. Sebab ayahnya pernah berpesan padanya, apabila terjadi sesuatu pada ayah dan ibunya, satu-satunya tempat teraman adalah rumahnya.
    Di dalam capsule express, selama perjalanan menuju kota Agate, Cruz dan Synn menyaksikan berita dari televisi virtual. Benar saja topik utama berita itu adalah penangkapan orang-orang yang melakukan penelitian bersama ayahnya, orang-orang yang disebut-sebut sebagai anggota sebuah organisasi bernama Styrax. Pihak pemerintah menangkap mereka karena penelitian yang mereka lakukan dianggap mengancam keselamatan dunia. Untuk selanjutnya diputuskan bahwa orang-orang itu akan dieksekusi mati. Sekilas dari gambar yang terekam, tampak ibu dan ayah mereka, berlutut berjajar bersama anggota Styrax yang lain. Lalu acara berita itu beralih ke topik lain.
    Synn merapatkan dekapannya pada boneka beruangnya, lalu kembali terisak. Cruz merangkul adiknya erat dan seketika itu juga tangis Synn kembali meledak. Synn merasa sangat terluka. Belum ada lima jam yang lalu dia merasakan kebahagiaan, tiba-tiba perasaan indah itu harus lenyap begitu saja. Semua sungguh tidak adil. Mengapa semua ini harus terjadi kepadanya?
    Synn menangis sejadinya di pelukan kakaknya. Cruz pun membiarkan adiknya menumpahkan segala kesedihan yang dia rasakan. Toh hanya ada mereka berdua di capsule express itu.
    Sebenarnya Cruz juga sulit menahan air matanya. Ayah dan ibu mereka diperlakukan seperti itu, ditambah lagi akan dihukum mati. Jadi, hanya akan tinggal mereka berdua. Rasanya menyakitkan. Dia tidak yakin apakah mereka bisa sanggup bertahan. Tetapi dia tahu, menangis tidak akan menyelesaikan apapun, dan malah membuat adiknya semakin sedih. Dia harus tegar. Dia harus bisa melindungi adiknya apapun yang terjadi.


***


Sudah satu tahun berlalu sejak eksekusi para anggota Styrax. Sejak eksekusi itu, atas dekrit perdana menteri, media massa dilarang untuk memberitakan apapun yang berkaitan dengan Styrax. Alasannya demi keamanan bersama, sebab organisasi itu telah dinyatakan melakukan penelitian yang dapat menyebabkan hancurnya Edelstein.
    Dan sudah setahun pula Synn dan Cruz menjalani kehidupan berdua saja di rumah di Agate. Mereka bersyukur mereka masih bisa bertahan hidup dari royalti ayahnya. Tetapi Cruz tidak ingin bergantung dari itu saja. Dia ingin menghasilkan uang sendiri, melalui bakatnya dalam mengutak-atik sistem komputer. Meskipun usianya baru lima belas tahun, dia sudah mampu menembus sistem-sistem keamanan komputer. Oleh karena itu, dia kini berhasil menjadi freelance perusahaan-perusahaan besar yang ingin menguji-coba sistem keamanan komputer mereka dan terpaksa melupakan kewajibannya di bangku sekolah.
    "Kak, coba lihat ini sebentar,"  ucap Synn, berdiri di depan televisi proyeksi di ruang keluarga rumahnya.
    "Apa?" Cruz yang sedang memakai komputer virtualnya, segera melepas computer-glasses-nya, lalu menghampiri Synn.
    "Beritanya." Synn menunjuk televisi, tanpa memandang kakaknya.
    Cruz terkejut melihat berita yang sedang ditayangkan. Pemandangan yang tampak adalah para warga sipil yang berlarian dikejar-kejar oleh petugas militer. Ada warga yang langsung ditembak mati, ada pula yang berusaha melarikan diri tetapi masih tetap tertembak. Pada judul beritanya tertulis "Sweeping Oknum Terkait Penelitian Styrax".
    "Sweeping?" Cruz berkacak pinggang, setengah tidak percaya. "Sweeping di mana ini?"
    "Kota Jade, Green State," jawab Synn. Sesekali ekspresi Synn berubah ngeri ketika muncul adegan penembakan.
    "Pemerintah ini apa sudah gila? Maunya apa sih? Sejak Amethyst dalam kondisi tertidur dan anggota Styrax ditangkap, mereka ini seperti orang kebakaran jenggot. Sebenarnya apa yang terjadi?"
    "Kak," Synn menatap kosong televisinya, "aku takut. Jangan-jangan kita juga akan dibunuh. Jangan-jangan kita..."
    Tiba-tiba udara di sekitar Synn bergejolak, menghempaskan kakaknya hingga menabrak tembok. Benda-benda di seluruh ruangan itu juga ikut terangkat dan melayang ke segala arah.
    Cruz terkejut melihat reaksi adiknya. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kekuatan apa ini? Ini jelas bukan sesuatu yang bisa diterima akal sehat. Tetapi dia harus melakukan sesuatu sebelum rumahnya hancur berantakan.
    Dengan susah payah Cruz mendekati adiknya, meraih tangannya dan menggenggamnya erat, menatap matanya dalam-dalam, lalu berkata dengan lembut, "Jangan takut, ada aku di sini. Tenanglah."
    Pandangan kosong Synn memudar. Perlahan udara di sekitarnya kembali tenang. Barang-barang yang sebelumnya melayang pun mendarat di lantai dengan mulus. Synn jatuh di pelukan kakaknya. Air mata Synn langsung membanjir, dia menangis sejadi-jadinya di dada kakaknya. Synn memeluk erat Cruz, meremas kemeja kakaknya, menumpahkan segala rasa takutnya.
    Cruz mendekap adiknya erat. "Jangan takut. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku janji. Semua akan baik-baik saja. Percayalah. Tapi kau harus tenang."
    Di tengah isak tangisnya, Synn mengangguk. Perasaannya sedikit agak lega sekarang. Walaupun kekhawatiran masih bernaung di hatinya.
    Sweeping ini pasti akan terus dilakukan, pikir Cruz. Tetapi Blue State akan jadi tempat teraman untuk saat ini karena tempat ini dianggap suci. Tidak mungkin mereka berani melakukan sweeping di wilayah ini tanpa ijin para tetua Blue State. Sementara kami bisa merasa sedikit lega.
    Pada saat yang sama, komputer Cruz berbunyi sangat nyaring dan hampir memekakkan telinga. Cruz melepas lembut pelukan adiknya, lalu menghampiri komputernya, segera mematikan suaranya. Setelah itu, dia kembali pada adiknya.
    "Ayo, kau butuh istirahat." Cruz memapah adiknya menuju kamarnya. Synn mengangguk lemah, mengikuti kakaknya.
    Setelah yakin adiknya sudah terlelap, Cruz kembali menghadapi komputernya. Dia mengecek apa penyebab suara nyaring yang muncul tadi. Dan Cruz sempat terkejut, menemukan rentetan data yang dikirim melalui sistem komputer tersembunyi dari Pearl. Tidak salah lagi semua ini adalah data penelitian Styrax. Tetapi, kenapa dikirim ke komputer di Agate?
    Belum sempat Cruz menebak apa tujuan dikirimnya data itu ke tempatnya, dia melihat ada simbol surat di sudut window. Dia membuka surat itu, yang rupanya masuk bersamaan dengan data yang dikirim, lalu muncul tulisan "Sender : Gerd Leishredth". Itu jelas nama ayah Cruz. Berikutnya, muncul visualisasi hologram ayahnya, menatap dalam mata biru laut Cruz.
    "Cruz," hologram ayahnya bicara, "ketika kau membuka pesan ini, pasti ayah dan ibumu ini sudah tidak ada. Ayah sadar penelitian yang ayah lakukan ini sangat beresiko. Tetapi penelitian ini harus dilakukan. Demi kebaikanmu dan adikmu, demi kebaikan anak Dr. Syezierch, dan juga demi kebaikan negeri kita, Edelstein. Karena itu, jika terjadi sesuatu pada kami, aku mohon kau mau menggantikan kami semua untuk melanjutkan penelitian ini. Untuk itulah, semua data penelitian akan otomatis terkirim ke rumah kita melalui sistem keamanan internal antara komputer di Pearl dan di Agate dalam jangka waktu satu tahun dari saat ketika terjadi sesuatu pada kami. Tetapi kau tetap punya pilihan untuk tidak melanjutkannya. Jangan jadikan ini sebagai beban jika kau memilih untuk tidak melanjutkannya. Sebab kau tahu sendiri bagaimana resikonya. Dan terakhir," hologram ayah Cruz mengulurkan tangannya, seakan menepuk pundak Cruz, "jagalah dirimu dan adikmu."
    Tiba-tiba hologram ayahnya memudar, digantikan dengan hologram ibunya yang tampak tersenyum. "Jangan pernah merasa ditinggalkan," tangan semu ibunya menyentuh pipi Cruz, "dan jangan pernah menyesali apapun yang terjadi. Sebab memang inilah yang harus kita lakukan dan alami. Jadilah kekuatan untuk adikmu. Sebab apa yang akan dia alami di depan, jauh lebih berat dari apa yang bisa kita bayangkan saat ini. Dalam setiap keputusan yang kau ambil, ingatlah bahwa kami selalu menyertai kalian, percayalah bahwa kalian tidak sendirian. Lindungi dirimu dan adikmu. Lakukan yang terbaik menurutmu. Kami sayang kalian."
    Lalu hologram ibunya lenyap dan pesan itu secara otomatis terhapus dari memori komputer, hilang untuk selamanya. Cruz melepas computer-glasses-nya. Dan untuk pertama kalinya sejak kematian ayah dan ibunya, Cruz membiarkan air matanya mengalir turun membasahi pipinya.

Senin, 15 November 2010

Chapter 4 - The Answer of The Question



Setengah berjingkat, Synn keluar dari kamarnya. Berbekal bola cahaya yang sangat kecil dan tas Valvyora, Synn menyusuri lorong asrama, menuruni tangga, lalu masuk ke toilet yang ada di lobby asrama. Dengan cepat dia mengganti pakaiannya, memakai wig hitam panjang dan kacamata. Synn memasukkan bajunya sendiri ke dalam tas Valvyora, lalu segera menuju pintu lobby dan membuka kuncinya menggunakan ID Card miliknya.
    Wah, menembus pintu lobby asrama sendiri memang mudah, pikir Synn. Tetapi keluar tanpa ijin seperti ini lebih mudah lagi bagi sistem komputer Grazzleford untuk mengetahuinya. Hanya tinggal hitungan jam, kepala asrama bisa menemukanku melanggar aturan asrama.
    Synn menyusuri jalan menuju gedung asrama putri. Dia menangkupkan tangannya pada bola cahaya untuk mengurangi intensitas cahayanya, sambil sesekali memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat dirinya.
    Sampai di depan pintu lobby asrama putri, Valvyora sudah menyambutnya. Dia membukakan pintu untuk Synn, lalu menyuruhnya masuk.
    "Kau tepat waktu," bisik Valvyora. "Ayo cepat ke kamarku." Synn mengangguk, mengikuti Valvyora menuju kamarnya.
    Tidak sampai sepuluh menit, mereka tiba di kamar Valvyora. Kamar Valvyora sedikit lebih sempit daripada kamar Synn, karena hanya ditempati olehnya sendiri. Synn masuk, lalu meletakkan tas Valvyora di dekat pintu masuk, memasukkan bola cahaya ke dalam sakunya, dan melepas kacamatanya.
    "Aku sengaja meminta kamar sendiri, untuk situasi seperti ini," jelas Valvyora. "Nah, sekarang giliranmu."
    "Eh?"
    "Kau bisa membuat pelindung dari kekuatan auramu kan? Itu saja cukup membuat siapapun tidak bisa mendengar apapun yang kita bicarakan."
    "Oh, baik."
    Banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran Synn tentang Valvyora, tapi dia mengesampingkan itu dulu. Dia mengulurkan kedua tangannya, membangun aura pelindung yang sama dengan yang dia buat dua hari lalu. Kini seluruh sisi dalam kamar dilapisi oleh aura pelindung milik Synn.
    "Hebat," Valvyora menyentuh pelindung Synn. "Memadatkan aura sampai sekeras dinding."
    "Jadi, bagaimana kau tahu soal kekuatanku? Dan bahkan kau juga tahu spesifikasinya."
    "Dari jurnal ayahku." Valvyora mengerling pada Synn, lalu duduk di tengah ranjangnya, memberi tanda pada Synn juga untuk duduk di sampingnya. Synn menurut, duduk di pinggir ranjang Valvyora. "Termasuk informasi kau mengganti namamu menjadi Synn Carnelian. Tapi jurnal itu sudah dimusnahkan oleh kakekku. Demi keamananku dan juga dirimu."
    "Apakah jurnal itu berisi juga tentang Batu Deus?"
    "Tidak." Valvyora menatap mata biru Synn. "Jurnal itu hanya berisi tentang catatan kedokteran dan penelitian sampingan yang dilakukan ayahku, tentu saja itu berarti semua penelitian selain proyek Styrax. Yang aku tahu, semua penelitian tentang kekuatan dirimu, sebagai Sang Terpilih, ada di sana. Juga termasuk saat kau hampir mati dan ayahku berhasil menyelamatkan nyawamu."
    "Tunggu tunggu. Kau bilang proyek Styrax? Proyek apa itu?" Synn mengerutkan dahinya.
    "Kau... tidak tahu?" Tampak jelas ekspresi Valvyora kini berubah menjadi sangat heran. "Apakah kakakmu tidak cerita apa-apa padamu?"
    "Tidak." Synn tertunduk. "Aku cuma tahu kakakku melanjutkan penelitian rahasia ayah. Tapi setiap aku bertanya apa yang sedang dia teliti, dia tidak pernah menjawab sama sekali. Dan saat rasa penasaranku menguat, dia cuma berkata, 'Kau tidak perlu tahu. Tapi percayalah ini semua demi kebaikan kita semua, terutama dirimu.' Jadi, tidak ada satupun yang aku tahu tentang Batu Deus." Samar-samar  terpancar garis kesedihan dan kerinduan dari wajah Synn. Valvyora memandang Synn, penuh simpati.
    "Ou, baiklah. Mungkin aku harus menceritakan semua yang aku tahu dari awal. Bertanyalah kalau ada yang membuatmu penasaran."
    "Baik." Synn menaikkan kakinya ke atas ranjang, duduk bersila menghadap Valvyora.
    "Pertama, soal proyek Styrax, proyek yang berkaitan dengan kita berdua. Tidak banyak yang aku ketahui tentang penelitian itu. Sebab semua datanya langsung ditransfer ke rumahmu di Agate setelah kalian lari dari Pearl saat eksekusi Styrax. Yang sempat aku dengar dari kakekku, mereka meneliti tentang Batu Deus. Mereka meneliti semua tentang bagaimana batu itu bisa muncul, pengaruhnya dengan Edelstein, dan hubungannya dengan ramalan."
    "Sebentar, tadi kau bilang proyek itu berkaitan dengan kita berdua. Aku mengerti aku ada kaitannya dengan proyek itu karena aku dengar aku adalah Sang Terpilih. Tapi kaitannya dengan dirimu...?"
    "Kau dengar dari siapa tentang Sang Terpilih?" Ekspresi Valvyora berubah serius.
    "Kemarin malam aku sempat bertarung dengan seorang Marv. Tetapi dia hanya berniat mengujiku. Aku dengar dari dia."
    "Siapa namanya?"
    "Refiro Lewis. Dialah yang menyembuhkan, tepatnya melenyapkan bekas jahitan di tanganku."
    "Oh, Lewis kakak kelas kita itu. Dia Marv? Kalau dia tahu sejauh itu, berarti benar dia saudara jauh tetua Lewis."
    "Tetua? Dia memang bilang paman dari ayahnya adalah tetua di Blue State."
    "Lalu apa lagi yang dia katakan?"
    "Aku dengar tentang ramalan seratus tahun lalu. Lalu tentang Sang Terpilih yang terlahir untuk membangkitkan kekuatan Batu Deus."
    Mendadak Valvyora terkejut. Dia tampak shock. "A-aku... memang tahu tentang ramalan itu... Tapi aku tidak pernah tahu takdir Sang Terpilih. Dan ternyata... begitu."
    Sejenak keduanya terdiam. Synn memilih untuk menunggu Valvyora menenangkan dirinya sebelum melanjutkan penjelasannya.
    Valvyora menarik napas dalam. "Synn, aku harap kau siap mendengarnya." Mata cokelat Valvyora bertemu dengan mata biru Synn. "Mungkin penjelasanku ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pernah kau ajukan padaku. Kenapa penelitian itu berkaitan denganku juga? Itu karena Batu Deus tertanam dalam diriku."
    Mata Synn terbelalak. Kepalanya serasa dihantam pipa besi. Dia benar-benar tidak mengira sesuatu yang menyebabkan banyak tragedi di mana-mana itu kini ada di hadapannya, tepatnya ada di dalam tubuh gadis di hadapannya.
    "La-lalu batunya...?"
    "Hanya diam di dalam tubuhku. Tidak bisa dikeluarkan, tapi tetap bisa bereaksi."
    "Apakah gempa semalam...?"
    "Ya, kadang-kadang memang begitu. Tapi selain dirimu, tidak ada yang tahu kalau gempa itu gara-gara Batu Deus."
    "Kenapa bisa?"
    "Karena kekuatan Marv-mu. Hanya kau yang bisa merasakan keberadaan Batu Deus. Beberapa orang memang memiliki kekuatan aneh sejak Batu Deus muncul. Beruntung pemerintah menganggap itu sebagai gejala mutasi biasa. Tetapi untuk dirimu, itu lain. Kekuatan auramu ini adalah kekuatan yang tampaknya memang diberikan oleh Batu Deus. Itulah kenapa lima tahun yang lalu kau bisa bertahan dari luka tembak seserius itu. Setidaknya itu yang tertulis di dalam jurnal ayahku."
    Synn mengernyit. "Tapi kenapa bisa batu itu ada di dalam tubuhmu?"
    "Aku tidak tahu kenapa dan bagaimana bisa batu itu bisa masuk dalam tubuhku. Yang aku ingat batu itu jatuh seperti meteor ke arahku, lalu masuk begitu saja. Pemerintah tidak tahu batu itu ada di dalam tubuh seseorang. Makanya, mereka mengadakan sweeping secara brutal setelah menangkap basah para anggota Styrax, sekaligus untuk memburu Sang Terpilih." Valvyora memandang ke arah lain, "Jadi ternyata itu alasan pemerintah juga memburu Sang Terpilih," lalu kembali memandang Synn, "Kau tahu, kekuatan Batu Deus itu sangat besar, melampaui lima batu sihir yang ada di Edelstein? Orang biasa tidak akan bisa dengan mudah menyentuhnya tanpa mengalami efek apa-apa, bahkan kemungkinan bisa mati."
    "Lalu, kenapa bisa batu itu bisa masuk dalam tubuhmu tanpa memberikan efek apapun?"
    "Bukannya tidak memberikan efek apapun."
    Mata Synn membulat. "Maksudnya...?"
    Valvyora membuka kancing kemeja piyamanya lalu melepasnya, memperlihatkan seluruh tubuh bagian atasnya. Di bahu kanannya terdapat tulisan SZ1929, yang mirip dengan nomor seri yang ada pada mesin. Bahan yang digunakan untuk menulisnya pun tampak sama dengan yang digunakan untuk mencantumkan nomor seri mesin. Valvyora mengulurkan tangan kirinya, lalu muncul beberapa cable port pada lengannya. Iris cokelat mata Valvyora pun sudah berganti menjadi hitam kelam.
    "Sebagian besar tubuhku adalah mesin. Bagian dalam tubuhku hampir hancur seluruhnya saat batu itu masuk ke dalam tubuhku. Tetapi ayahku dan seorang temannya berhasil menyelamatkanku dengan mengganti susunan tubuhku yang rusak dengan mesin. Dan beginilah, aku seperti komputer yang hidup. Tapi dengan ini aku bisa menembus sistem komputer apapun dengan proteksi yang paling canggih sekalipun dan merekayasa data tanpa diketahui siapapun."
    "Jadi sistem keamanan asrama Grazzleford kau yang..."
    "Ya, makanya aku bilang kau tidak usah khawatirkan itu."
    "Oh pantas saja. Saat kau menghampiriku, aku tidak merasakan kedatanganmu. Aura yang biasa dikeluarkan oleh makhluk hidup hampir tidak kau miliki."
    "Jadi, apa masih ada yang ingin kau tanyakan?" Valvyora memakai lagi kemeja piyamanya.
    "Ya. Pada saat tubuhmu diganti dengan mesin, kenapa Batu Deus tidak dikeluarkan?"
    "Ayahku tidak menemukannya, tepatnya tidak menemukan apa yang membuat tubuhku hancur seperti itu. Ayahku berusaha mencari tahu penyebabnya. Melihat gejala gangguan kekuatan lima batu sihir yang terjadi setelah tubuhku hancur, ayahku pergi ke kuil di Blue State dan akhirnya memperoleh jawaban dari pendeta Lewis. Jadi, batu itu ada di dalam tubuhku tidak secara fisik."
    "Oh, begitu. Apa kau tahu bagaimana caranya membangkitkan Batu Deus?"
    Valvyora menggeleng. "Aku tidak tahu."
    "Tapi kalau aku membangkitkannya, apakah itu berarti Edelstein akan hancur?"
    "Menurut ramalan, iya."
    Synn tertunduk, memandang kakinya. "Lalu bagaimana aku tahu apa yang harus aku lakukan?"
    Valvyora memandang Synn penuh simpati. Dia menepuk pundak Synn lembut. "Aku tahu beban yang kau pikul sangat berat. Tapi pasti ada pilihan. Lagipula yang kita ketahui mungkin baru sedikit. Kita harus mencari tahu lebih banyak lagi informasi."
    Synn balas memandang Valvyora, tersenyum lega. "Kau benar. Pasti ada pilihan. Tapi masih ada yang ingin aku tanyakan."
    "Tentang apa?" Valvyora melirik jam hologram di dinding kamarnya.
    "Tentang isi jurnal itu. Katanya ada informasi mengenai kekuatanku. Kadang-kadang aku memang melatih kekuatanku, tapi spesifikasi seperti yang kau sebutkan tadi, aku belum pernah tahu."
    "Itu gampang. Nanti kalau ada kesempatan, akan aku beritahu keseluruhannya."
    "Lalu soal Styrax. Pasti ada yang kau ketahui."
    "Benar, tapi mungkin kau tidak bisa lebih lama lagi di sini. Ini sudah hampir pukul dua. Siapa saja bisa memergokimu." Valvyora turun dari ranjangnya, berjalan menuju pintu. "Akan aku antar sampai ke pintu lobby."
    "Tapi, kapan lagi kita bisa bicara?" Synn memakai kembali kacamatanya.
    "Kita bisa pakai cara yang sama di malam lain. Hmm, mungkin tiga hari lagi."
    Synn mengangguk, bangkit berdiri, mengambil tas hitam Valvyora di dekat pintu dan mengeluarkan bola cahaya dari sakunya, lalu berjalan mengikuti Valvyora menuju lobby asrama putri.
    "Sampai di sini aku mengantarmu. Hati-hati," ucap Valvyora sebelum menutup pintu keluar gedung asrama putri.
    Synn menyusuri jalan yang sama dengan yang dilewatinya beberapa jam yang lalu. Masih tetap gelap dan sepi. Dan dia juga tetap waspada. Synn masuk ke lobby asrama putra, segera kembali menukar bajunya di toilet di lobby, lalu kembali ke kamar.
    Perlahan Synn membuka pintu kamarnya, mengintip apakah Feroz masih tertidur. Beruntung dia masih tertidur dan—lagi-lagi—menghadap tembok.


***


"Lightning, aku baru saja melihat ada seseorang yang melintas di sekitar asrama putri."
    "Tengah malam begini?" celetuk suara yang paling muda.
    "Bagaimana ciri-cirinya?" orang yang dipanggil Lightning menanggapi.
    "Perempuan berambut hitam panjang."
    "Hmm, coba kau perhatikan malam-malam berikutnya apakah dia akan muncul lagi."
    "Baik."


***




Pagi tadi setelah bangun tidur, Synn bersyukur Feroz tidak menanyakan apa-apa soal semalam. Sepertinya memang semalam Feroz tidak menyadari Synn keluar dari kamarnya.
    Synn menengadah, memandang dedaunan pohon Cruz yang sangat rimbun melambai-lambai tertiup angin sepoi. Dalam pikirannya masih terekam jelas kata-kata Valvyora semalam. Dan itu semua juga memiliki benang merah dengan apa yang dikatakan oleh Refiro.
    Sang Terpilih ya...? Synn bergumam. Ternyata begitu. Ditambah lagi ternyata batu itu ada di dekatku. Jadi itu maksud kakak menyuruhku datang ke sekolah ini.
    Terlintas kembali di dalam memori Synn, kejadian pahit ketika kakaknya dibunuh. Synn memejamkan matanya rapat-rapat. Begitu perih, seolah hatinya disayat-sayat. Kakaknya dibunuh dengan cara yang sangat menyakitkan oleh menteri White State sendiri. Tak ada satupun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya. Ketika menemukan kakaknya dalam kondisi hampir mati di villa ayahnya di kota Jade, Synn hanya bisa menangis dan memeluk erat tubuh kakaknya yang bersimbah darah.
    'Synn, pergilah ke kota Pearl, masuklah Grazzleford. Kau akan menemukan jawabanmu di sana.'
    Synn membuka matanya. Dia memperhatikan sekelilingnya yang sudah mulai ramai. Siswa-siswi Grazzleford sudah berlalu-lalang menuju gedung sekolah masing-masing. Synn pun bangkit berdiri, berjalan menuju kelasnya.
    "Synn," suara seseorang memanggilnya, tepat ketika Synn akan memasuki kelas. Synn menoleh ke arah si pemilik suara. "Tadi pagi aku lupa bilang padamu," ucap Feroz. "Apa kau tertarik masuk klub atletik?"
    "Oh. Kau ketuanya kan. Eum, bagaimana ya...?"
    "Aku tidak memaksa juga sih. Tapi kelihatannya kau belum masuk klub apapun.  Jadi aku pikir mungkin kau tertarik masuk atletik."
    "Ng, entahlah. Aku tidak yakin. Aku tidak pernah terlalu aktif di klub, jadi lama-lama tidak pernah ikut klub apapun."
    "Begitu? Yah, kalau kau suatu saat berminat kau bisa langsung memberitahuku."
    "Oke."
    "Feroz sayaaaaang!!!" Tiba-tiba seorang gadis berlari ke arah Feroz dan langsung melompat, memeluk leher Feroz dari belakang.
    "Mi-mischa, hentikan!" Feroz melepaskan diri dari pelukan gadis berambut hitam yang tampaknya sudah sangat dekat dengan Feroz. Gadis itu sempat mengerucutkan bibirnya ketika—dengan sangat terpaksa—melepaskan tangannya dari Feroz.
    "Pacarmu?" tanya Synn, agak kurang yakin.
    "Iya dong," jawab si gadis.
    "Bukan," sahut Feroz tenang. "Mischa, bisa berhenti mengakuiku sebagai pacarmu?"
    "Aih, Feroz jahat deh," rengek Mischa. "Padahal hampir tiap malam kau selalu datang ke kamarku. Dan setelah semua itu kau tidak mengakuiku sebagai pacarmu?"
    "Heee?" celetuk Synn, hampir mempercayai kata-kata Mischa.
    "Jangan ngawur!" sergah Feroz. "Menyebarkan cerita begituan. Benar- benar suka buang-buang waktu ya."
    Oh, cuma karangan Mischa, batin Synn. Hei, kenapa aku merasa lega?
    "Ah, Feroz. Itu kan gara-gara kau tidak mau jadi pacarku." Mischa mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan mata seolah-olah dia adalah seorang dewi, lalu berkata, "Kau tidak tahu betapa aku menyukaimu."
    "Mengertilah, ketika kau menyukai seseorang bukan berarti dia harus jadi pacarmu," ucap Feroz serius. "Aku juga tidak mau kalau harus jalan denganmu tanpa perasaan apa-apa."
    Sejenak ekspresi Mischa tampak agak shock mendengar penolakan Feroz. Tapi seketika itu juga berubah kembali menjadi ekspresi khas gadis manja. "Baiklah, tapi aku yakin nanti kau juga akan menyukaiku."
    "Keras kepala sekali kau ini."
    "Memang," Mischa tersenyum percaya diri. "Sudah ya, aku kembali ke kelas dulu."
    Mendengar semua percakapan Feroz dengan Mischa, membuat Synn merasa salah tingkah. Terlebih lagi, harus melihat adegan penolakan. Benar-benar tidak sedang berada di posisi yang tepat.
    "Cewek itu memang begitu, jangan dihiraukan."
    "I-iya." Tiba-tiba Synn jadi merasa agak simpati terhadap Mischa. "Tapi sepertinya dia serius menyukaimu."
    Feroz menggaruk kepalanya sebentar. "Yah, aku pikir mungkin begitu juga. Tapi aku menolaknya bukan hanya tidak bisa membalas perasaannya. Menurutku bukan masanya aku menyukai seseorang."
    "Maksudmu...?"
    "Negeri ini belum benar-benar stabil. Bukan waktunya memikirkan hal-hal seperti itu."
    Synn tertegun. Ya, itu juga berlaku untuk dirinya. Dibandingkan apa yang akan dia hadapi nanti, hal-hal semacam itu tidak akan ada artinya.

Minggu, 07 November 2010

Chapter 3 - Friends



"Akhir dari Edelstein?" Synn benar-benar membuat alisnya nyaris menyatu. "Apa maksudmu?"
         "Jadi tidak ada seorangpun yang memberitahumu?"
         Mendengar itu Synn merasa geram dan frustasi. Memang tak ada seorangpun yang menjelaskan apapun kepadanya, termasuk keluarganya sendiri. Tetapi mereka semua pergi, meninggalkan dia sendirian tanpa arah. Dia tak menyangkal jika dalam hatinya dia menyimpan kemarahan. Bukan karena dia ditinggalkan sendiri—karena memang saat itu tak ada pilihan lain, melainkan karena dia harus berjuang tanpa arah. Tak satupun yang diucapkan Valvyora dan Refiro yang ia ketahui. Itu membuatnya sangat kesal.
         "Ya," jawab Synn agak sinis. "Lagipula kau belum memberitahu tujuanmu."
         "Baiklah. Sebenarnya paman dari ayahku adalah seorang tetua yang ada di Blue State. Dari beliaulah aku tahu semua tentang ramalan Edelstein. Bahwa negeri ini akan rusak keseimbangannya akibat ulah manusianya sendiri. Dan lalu, setelah seratus tahun, akan datang sebuah penghakiman."
         "Penghakiman?" Synn mengerutkan dahinya.
         "Ya." Refiro membetulkan posisi duduknya. "Menurut ramalan, akan datang sebuah batu yang akan mengakhiri dunia ini. Kedatangan batu sihir ini akan merusak keseimbangan lima batu sihir yang ada di negeri kita, namun tidak akan menimbulkan kerusakan apa-apa. Tetapi untuk membangkitkan kekuatan sihirnya, Sang Terpilih lahir."
         "Ja-jadi..," Synn tergagap, merasa pikirannya penuh mendadak, dijejali informasi luar biasa yang sayangnya tidak pernah ia ketahui. "Tapi apa benar itu aku? Bagaimana bisa itu aku..?"
         "Pertama, disebutkan Sang Terpilih berasal dari Blue State. Kedua, disebutkan pula bahwa ia berasal dari keluarga Leishredth."
         Synn tidak sanggup berkata-kata. Matanya terbelalak, bibirnya terkatup rapat, tidak menduga ada kenyataan seperti itu.
         "Ramalan itu mulanya hanya diketahui para tetua," lanjut Refiro. "Tetapi perlahan-lahan diketahui oleh pemerintah, meski mereka tidak mengetahui petunjuk tentang siapa Sang Terpilih. Dan terjadilah sweeping itu. Selanjutnya kau tahu apa yang terjadi pada masa itu."
         Pikiran Synn kembali berputar, mengarungi waktu, kembali ke masa saat dia terpisah dari orang tuanya dan lari ke kota Jade bersama kakaknya. Menyakitkan. Kembali mengingat itu semua seperti membuka luka lama yang terabaikan bertahun-tahun. Ditambah lagi semua kejadian itu sebenarnya terjadi karena dia. Dialah yang orang-orang itu cari, sampai harus mengorbankan orang banyak.
         Tiba-tiba lutut Synn lemas, dia jatuh terduduk. Pedangnya seketika lenyap. Dia menatap kosong aura pelindung di bawahnya. "Sebenarnya kenapa orang-orang itu melakukannya? Kenapa sampai mengorbankan nyawa banyak orang seperti itu?"
         "Pemerintah panik. Mereka tidak ingin dunia ini hancur. Mereka tidak ingin mati." Refiro menunduk. Terdengar nada menyesal dari kata-katanya. "Sekarang ini, hampir tidak ada orang yang tidak kehilangan sanak saudaranya akibat sweeping itu."
         Keduanya terdiam, mengenang masa-masa pahit yang mereka alami. Memori pahit yang diakibatkan keegoisan segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Sebenarnya siapapun berhak menyimpan dendam pada orang-orang itu, tetapi Synn tidak ingin melakukannya. Meski diakuinya dia menyimpan amarah, tetapi dia tidak ingin mendendam. Sebab dia tahu dendam tidak akan menyelesaikan apa-apa, hanya akan menambah dendam lain. Sekarang ini dia hanya ingin mengetahui takdir apa yang sebenarnya tertulis untuknya.
         Synn bangkit berdiri, sempat meringis menahan rasa sakit dari lukanya, lalu mengulurkan kedua tangannya. Seperti terhisap oleh tangannya, aura yang Synn buat mulai menghilang, bersamaan dengan hilangnya lubang di lantai gedung akibat sabit Refiro. Tetapi sayang, yang dia lakukan membuat lukanya semakin terbuka. Darah yang keluar semakin banyak. Synn terhuyung dan jatuh, tetapi dia masih tersadar.
         "Maaf, aku sudah melukaimu. Sebenarnya kau tidak perlu membangun pelindung seperti ini."
         "Ma-maksudmu," ucap Synn lemah.
         Tanpa menjawab, Refiro perlahan bangkit, mengulurkan tangannya ke arah pedangnya yang tergeletak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pedang itu bercahaya, terangkat pelan ke atas, lalu meluncur lembut ke tangan Refiro. Cahaya pedang itu semakin kuat, menyilaukan. Lalu pedang itu berubah perlahan menjadi sebuah jam pasir yang ukurannya lebih besar dari bentuk asalnya. Refiro meletakkan tangan kanannya di atas jam pasir besar itu dan tangan kirinya di bawah. Seketika cahaya itu berubah dari putih menjadi hijau, lalu muncul kabut yang juga berwarna hijau di sekeliling jam pasir itu. Refiro membalik jam pasir itu, membuat ruangan gedung itu diselubungi kabut hijau pekat.
         Synn merasakan tubuhnya sejuk, terbalut kabut hijau yang terasa lembut. Ini kekuatan Marv, pikir Synn. Tapi apa?
         Dalam sekejap, kabut itu kembali tersedot oleh jam pasir Refiro dan cahaya hijau darinya pun lenyap. Synn agak terkejut. Lukanya sembuh, bahkan sakitnya pun tak terasa sama sekali. Baju Synn yang juga terkoyak akibat tebasan pedang Refiro pun kembali menutup. Seolah dari awal tidak terjadi apa-apa di sana. Ditambah lagi bekas luka jahitan di tangan kirinya yang dia dapat beberapa hari lalu juga lenyap tak berbekas.
         "Apa yang kau lakukan?" tanya Synn heran. "Kekuatan Marv apa yang kau punya?"
         "Waktu," jawab Refiro pendek.
         "Kau memutar ulang waktu?" Synn memasang ekspresi setengah tidak percaya. "Bukankah itu terlalu praktis? Jangan-jangan... ada resikonya...?"
         "Ya," Refiro menatap mata biru Synn. "Umurku resikonya. Umurku akan berkurang jika aku merekayasa waktu."
         "Berarti sama saja kau memperpendek umurmu kan. Kekuatan seperti itu, dimiliki pun percuma kan?" ucap Synn, yang nadanya jelas terdengar khawatir.
         Refiro agak tertegun menanggapi sikap Synn. Tertegun karena baru kali ini dia dikhawatirkan seseorang karena kekuatannya. Itu membuatnya semakin simpati pada Synn, bukan sebagai Sang Terpilih melainkan sebagai orang yang peduli padanya.
         "Mungkin itu sudah takdirku," ucap Refiro, memandang ke arah jendela besar yang berada di sisi atas gedung. "Aku tidak tahu kenapa aku mendapat kekuatan yang seperti bumerang pada diriku sendiri ini. Tapi aku yakin pasti kekuatanku ini akan bisa berguna suatu saat, pasti ada tujuannya kenapa aku memiliki kekuatan seperti ini. Dan aku bertekad akan menggunakannya untuk orang-orang yang aku sayangi, termasuk kau." Refiro mengerling pada Synn. "Aku mulai menganggapmu sebagai teman, bukan sebagai Sang Terpilih atau apa. Boleh?"
         Synn terheran memandang Refiro. Saat itu entah bagaimana dia benar-benar merasa tidak lagi sendirian. Dia memiliki teman, yang pasti akan selalu berjuang bersama-sama dengannya. Ada suatu kemiripan yang Synn rasa ada pada diri mereka berdua. Mungkin rasa kehilangan, mungkin luka, mungkin rasa kesepian, tapi yang pasti adalah rasa ingin saling melindungi.
         Dengan lembut Synn tersenyum, "Tentu saja boleh."
         "Ternyata biar bagaimanapun kau berpenampilan seperti laki-laki, kau memang perempuan," celetuk Refiro, tertawa.
         Wajah Synn memerah, tidak sanggup membalas kata-kata Refiro. Tapi dia semakin yakin, dia akan berteman sangat baik dengan Refiro.



***



Hari ini jam pertama adalah olahraga. Synn sudah berada di dalam ruang ganti cowok bersama teman-teman cowok satu kelasnya. Baju olahraganya sudah ia kenakan di bawah seragamnya, jadi dia cukup melepas seragamnya saja, lalu menyimpannya di dalam loker. Hal yang sama juga dilakukan teman-temannya.
         Sampai detik itu semuanya tidak menjadi masalah. Tetapi yang jadi masalah adalah nanti, ketika mereka semua harus melepas baju olahraga dan menggantinya dengan seragam masing-masing. Dia tidak mungkin melepas seragamnya dan menggantinya di depan teman-teman cowoknya kan.
         Tetapi Synn mengenyahkan pikiran itu dan mencoba bersikap biasa. Pasti ada caranya, pikir Synn.
         Materi hari ini adalah lari jarak pendek. Setiap 5 siswa berlomba mencapai target waktu yang ditentukan. Dan urutan-urutan pertama diawali oleh para siswa cowok.
         Menunggu gilirannya, Synn duduk menyendiri. Sekilas dia memikirkan bagaimana caranya berganti pakaian dengan aman, tetapi masih saja belum menemukan cara yang tepat.
         “Synn, giliranmu,” tegur Valvyora. Synn bangkit, berjalan menuju garis start.
         Wah, bertanding lari dengan cowok nih, gumam Synn.
         Synn melirik siswa di sebelah kirinya, yang ternyata adalah Feroz. Feroz tersenyum, seolah menantangnya berlomba satu lawan satu. Synn membalas senyumannya, mengiyakan tantangan Feroz.
         DOR
         Kelima siswa itu melesat bersamaan. Synn mengimbangi Feroz, melupakan tiga temannya yang lain, menikmati terpaan angin yang menyapu wajahnya sambil tetap berusaha menjajari Feroz. Napas Synn mulai memburu sebelum Feroz, tetapi dia tetap tidak mau kalah. Beberapa meter sebelum finish, Synn mulai merasa lelah. Dia benar-benar hampir kehabisan napas. Tapi dia mencoba tetap bertahan. Dan akhirnya duel itu dimenangkan Feroz, yang memasuki garis finish 3 detik lebih awal sebelum Synn.
         “Hahahahaha… Hebat juga kau,” ucap Feroz, agak tersengal-sengal. Synn hanya tersenyum, tidak sanggup menjawab. Suaranya sudah dikalahkan oleh napasnya. Synn berjalan terseok menuju tepi lapangan, jatuh terduduk di atas rumput, berusaha mengatur napasnya. Feroz menyusul Synn, duduk di sebelahnya. “Belum ada yang berjuang sungguh-sungguh mengimbangiku sepertimu.”
         Mata Synn membulat. “‘Belum ada’?” tanya Synn, di antara sengal napasnya.
         “Iya,” jawab Feroz pendek, yang jelas bukan jawaban dari apa yang ingin diketahui Synn. Feroz bangkit berdiri. “Aku cuci muka dulu.”
         “Oke,” sahut Synn.
         Setengah berlari, Feroz meninggalkan Synn. Ketika sejenak Synn merasa duduk sendirian, tiba-tiba Valvyora sudah berdiri di sampingnya, lalu ikut duduk di samping Synn.
         “Hebat sekali kau, hampir mengalahkan Feroz,” komentar Valvyora.
         “Karena bertanding melawan cowok, maksudmu?” Synn memelankan suaranya saat menyebut kata “cowok”.
         “Itu juga.”
         “‘Juga’?” Synn mengernyitkan dahinya.
         “Iya. Kan Feroz itu ikut klub atletik. Tahun lalu dia juara nasional lari jarak pendek.”
         Synn menelan ludahnya. Juara nasional lari jarak pendek? Juara nasional?! Pantas saja dia harus memforsir tenaganya gila-gilaan supaya bisa mengimbangi Feroz. Bagi Synn bertanding lari melawan cowok itu bukan hal yang luar biasa. Staminanya memang sangat bagus sebagai cewek. Tetapi dia cukup terkejut setelah mengetahui lawannya tadi adalah seorang juara nasional.
         “Kelihatannya kau lumayan gampang menyesuaikan diri dengan penyamaranmu ya,” Valvyora merendahkan suaranya. “Wajah, suara, stamina. Tidak akan ada yang curiga.”
         “Tidak segampang yang kelihatannya kok.”
         “Ah, iya juga ya.” Valvyora tertawa kosong, tampak menyesali kata-katanya.
         “Ngomong-ngomong, kau sudah selesai lari?” tanya Synn, mengalihkan pembicaraan.
         “Sudah. Selesai lari tadi kan aku langsung menghampirimu.”
         “Eh?” Synn agak terkejut. Synn mengingat-ingat kejadian tadi. Dan dia yakin Valvyora tidak sedikitpun tampak kelelahan saat menghampirinya tadi. Masa dia cuma jalan pelan-pelan? pikir Synn, yang menurutnya pikiran seperti itu sangat bodoh.
         “Valv, boleh aku tanya sesuatu?” ucap Synn agak ragu.
         “Ya?”
         “Mungkin pertanyaanku ini konyol, tapi aku bohong kalau aku bilang tidak heran.”
         “Lalu?”
         “Setelah berlari, kenapa kau sama sekali tidak tampak kelelahan? Keringat pun hanya sedikit.”
         “Yah, itu memang ada penjelasannya,” jawab Valvyora serius, lalu tersenyum. “Tapi mungkin lebih baik besok malam saja ya. Oya, aku baru sadar, kenapa bekas jahitan di tanganmu tidak ada?”
          "Oh, ini. Kemarin ada yang menyembuhkannya."
          "Tapi, bisa sebersih itu. Apa kau bertemu Marv lain?" Valvyora merendahkan suaranya.
          "Aku rasa besok saja kita bicarakan."


***



Bersama teman-teman cowoknya, Synn berjalan menuju kamar ganti cowok. Dalam pikirannya masih terngiang kalimat terakhir Valvyora sebelum jam olahraga diakhiri. Itu membuatnya semakin penasaran tentang apa yang kira-kira akan dibicarakan oleh Valvyora besok malam.
         Sesampainya di kamar ganti, Synn berencana untuk ganti di ruang shower yang ada di dalam ruang ganti. Memang hanya ada 2 ruang shower, tetapi jarang digunakan selain setelah kegiatan klub olahraga. Itu membuatnya lebih mudah berganti baju diam-diam.
         Cepat-cepat Synn mengambil seragamnya di loker dan beringsut menuju ruang shower. Tanpa diduga, Feroz berdiri di dekat ruang shower. Ups.
         “Kau tidak berencana mandi kan?” tanya Feroz.
         “Ti-tidak, hanya ganti baju,” jawab Synn gugup.
         “Kenapa tidak di sini saja?”
         “Anu, eum… Aku… Ada bekas luka di dadaku. Aku malu,” bisik Synn pada dua kalimat terakhirnya.
         “Lho, bukannya keren? Tapi terserahlah.”
         Synn menarik napas lega. Untung saja. Dia berharap Feroz tidak menaruh curiga sama sekali. Cepat-cepat dia masuk ruang shower dan lalu menukar bajunya. Sekilas dia mengingat kembali alasan yang dia berikan pada Feroz tadi, lalu menunduk. Memang benar ada bekas luka, bekas luka tembak, tepat di mana ada jantung di dalam dadanya.


***


“Jadi kau punya bekas luka?” celetuk Feroz tiba-tiba, saat mereka berdua sama-sama sedang belajar di kamar.
         “I-iya,” jawab Synn.
         “Oh, pantas kau tidak pernah bertelanjang dada. Apa gara-gara sweeping itu?”
         “Eh?” Synn sempat tertegun, tidak mengira terkaan Feroz sangat tepat. Tetapi setelah dipikir lagi siapapun bisa saja terluka dan mati saat itu kan. “Iya,” jawab Synn, jujur.
         “Memang setelah kejadian itu tak ada satupun yang tidak terluka ya.” Feroz memandang langit-langit kamar, menerawang. “Termasuk juga luka hati.”
         “Benar,” jawab Synn, tertunduk.
         “Ah, sudahlah. Tidak perlu mengingat hal-hal yang pahit. Yang penting kita harus memikirkan apa yang ada di depan kan? Kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani.” Feroz tersenyum. Tetapi Synn melihat ada garis kesepian pada senyumannya, seperti yang juga terlihat pada senyumannya sendiri di setiap fotonya pada hampir separuh hidupnya.
         “Boleh aku jadi temanmu?” ucap Synn. Mata Feroz membulat heran.
         “Bicara apa kau? Tentu saja boleh.”
         “Aku hanya… Sudah lama aku tidak memiliki teman,” jelas Synn, memandang jari-jari kakinya.
         “Ya, aku mengerti.” Feroz meregangkan tangannya ke atas. “Aku juga sudah lama tidak mengakrabkan diri dengan orang lain.” Kini giliran mata Synn yang membulat heran.
         “Semoga kita menjadi sangat akrab ya,” Feroz bangkit dari kursi belajarnya, mendekati Synn, lalu mengulurkan tangan, menunggu jabatan Synn.
         Synn menyambut tangan Feroz, tersenyum. “Ya.”
         Feroz kembali duduk di kursinya. “Ngomong-ngomong tugas ini rasanya tidak selesai-selesai ya?”
         “Oya? Aku baru saja selesai,” jawab Synn enteng.
         “Apa? Wah, aku memang tidak bakat kerja tugas.”
         Mendengar kalimat Feroz, tawa Synn langsung meledak. “Baru kali ini aku dengar ada orang tidak punya bakat kerja tugas,” ucap Synn di sela-sela tawanya. Feroz hanya nyengir kuda.
         Mendadak lantai kamar mereka bergetar. Alat-alat tulis di atas meja berkeletak-keletak. Perabotan di dalam kamar juga mulai ikut bergetar. Gempa. Dan cukup kuat.
         Sekilas Synn merasakan aura kekuatan sihir yang sangat kuat, kekuatan yang sama kuatnya dengan lima batu sihir pelindung Edelstein. Batu Deus, simpul Synn, mendadak bangkit berdiri. Synn tidak menyadari koper dan barang-barang berat lain di atas lemari mulai bergeser dan jatuh ke atas dirinya.
         “Awas,” teriak Feroz, mendorong Synn hingga terjatuh duduk, menggunakan punggungnya sebagai pelindung Synn. Hasilnya, barang-barang itupun menimpa Feroz. Feroz mengerang pelan, menahan nyeri di punggungnya. Synn yang agak shock, hanya terdiam.
         Lantai kamar masih bergetar. Tubuh Feroz masih berada di atas tubuh Synn. Terasa sekali perasaan aman yang dirindukan Synn, sesuatu yang telah hilang bersamaan dengan kematian kakaknya. Samar-samar Synn mencium aroma tubuh Feroz. Tiba-tiba jantung Synn berdebar, semakin kencang, berlawanan dengan getaran di lantai dan benda-benda sekitar mereka yang mulai pelan.
         Getaran-getaran dari tanah yang mereka pijak akhirnya menghilang sepenuhnya. Sesaat mereka masih tetap pada posisi yang sama, menunggu apakah gempa masih akan berlanjut atau berhenti sepenuhnya. Lalu mata mereka bertemu, sadar bahwa jarak wajah mereka berdua hanya tinggal beberapa senti. Wajah Synn memerah, dan—mengherankan—wajah Feroz juga mulai bersemu merah. Padahal Feroz kan mengenal Synn sebagai cowok. Refleks, Feroz menghindar—bangkit berdiri lalu berdeham sebentar. Synn segera berdiri, lalu duduk di kursi belajarnya. Sesaat mereka bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Situasi ini menjadi rumit dan tidak karuan.
         "Punggungmu tidak apa-apa?" tanya Synn, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang masih semburat merah.
         "Oh, tidak apa-apa," jawab Feroz, yang tampaknya sudah bisa menormalkan emosinya.
         Synn menggeser tubuhnya menghadap meja, membelakangi Feroz. "Terima kasih."
         "Jangan sungkan," jawab Feroz. Meski dia tidak memandang wajah Feroz,
dari nadanya Synn tahu bahwa Feroz tersenyum saat mengucapkan kalimat barusan.