Minggu, 07 November 2010

Chapter 3 - Friends



"Akhir dari Edelstein?" Synn benar-benar membuat alisnya nyaris menyatu. "Apa maksudmu?"
         "Jadi tidak ada seorangpun yang memberitahumu?"
         Mendengar itu Synn merasa geram dan frustasi. Memang tak ada seorangpun yang menjelaskan apapun kepadanya, termasuk keluarganya sendiri. Tetapi mereka semua pergi, meninggalkan dia sendirian tanpa arah. Dia tak menyangkal jika dalam hatinya dia menyimpan kemarahan. Bukan karena dia ditinggalkan sendiri—karena memang saat itu tak ada pilihan lain, melainkan karena dia harus berjuang tanpa arah. Tak satupun yang diucapkan Valvyora dan Refiro yang ia ketahui. Itu membuatnya sangat kesal.
         "Ya," jawab Synn agak sinis. "Lagipula kau belum memberitahu tujuanmu."
         "Baiklah. Sebenarnya paman dari ayahku adalah seorang tetua yang ada di Blue State. Dari beliaulah aku tahu semua tentang ramalan Edelstein. Bahwa negeri ini akan rusak keseimbangannya akibat ulah manusianya sendiri. Dan lalu, setelah seratus tahun, akan datang sebuah penghakiman."
         "Penghakiman?" Synn mengerutkan dahinya.
         "Ya." Refiro membetulkan posisi duduknya. "Menurut ramalan, akan datang sebuah batu yang akan mengakhiri dunia ini. Kedatangan batu sihir ini akan merusak keseimbangan lima batu sihir yang ada di negeri kita, namun tidak akan menimbulkan kerusakan apa-apa. Tetapi untuk membangkitkan kekuatan sihirnya, Sang Terpilih lahir."
         "Ja-jadi..," Synn tergagap, merasa pikirannya penuh mendadak, dijejali informasi luar biasa yang sayangnya tidak pernah ia ketahui. "Tapi apa benar itu aku? Bagaimana bisa itu aku..?"
         "Pertama, disebutkan Sang Terpilih berasal dari Blue State. Kedua, disebutkan pula bahwa ia berasal dari keluarga Leishredth."
         Synn tidak sanggup berkata-kata. Matanya terbelalak, bibirnya terkatup rapat, tidak menduga ada kenyataan seperti itu.
         "Ramalan itu mulanya hanya diketahui para tetua," lanjut Refiro. "Tetapi perlahan-lahan diketahui oleh pemerintah, meski mereka tidak mengetahui petunjuk tentang siapa Sang Terpilih. Dan terjadilah sweeping itu. Selanjutnya kau tahu apa yang terjadi pada masa itu."
         Pikiran Synn kembali berputar, mengarungi waktu, kembali ke masa saat dia terpisah dari orang tuanya dan lari ke kota Jade bersama kakaknya. Menyakitkan. Kembali mengingat itu semua seperti membuka luka lama yang terabaikan bertahun-tahun. Ditambah lagi semua kejadian itu sebenarnya terjadi karena dia. Dialah yang orang-orang itu cari, sampai harus mengorbankan orang banyak.
         Tiba-tiba lutut Synn lemas, dia jatuh terduduk. Pedangnya seketika lenyap. Dia menatap kosong aura pelindung di bawahnya. "Sebenarnya kenapa orang-orang itu melakukannya? Kenapa sampai mengorbankan nyawa banyak orang seperti itu?"
         "Pemerintah panik. Mereka tidak ingin dunia ini hancur. Mereka tidak ingin mati." Refiro menunduk. Terdengar nada menyesal dari kata-katanya. "Sekarang ini, hampir tidak ada orang yang tidak kehilangan sanak saudaranya akibat sweeping itu."
         Keduanya terdiam, mengenang masa-masa pahit yang mereka alami. Memori pahit yang diakibatkan keegoisan segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Sebenarnya siapapun berhak menyimpan dendam pada orang-orang itu, tetapi Synn tidak ingin melakukannya. Meski diakuinya dia menyimpan amarah, tetapi dia tidak ingin mendendam. Sebab dia tahu dendam tidak akan menyelesaikan apa-apa, hanya akan menambah dendam lain. Sekarang ini dia hanya ingin mengetahui takdir apa yang sebenarnya tertulis untuknya.
         Synn bangkit berdiri, sempat meringis menahan rasa sakit dari lukanya, lalu mengulurkan kedua tangannya. Seperti terhisap oleh tangannya, aura yang Synn buat mulai menghilang, bersamaan dengan hilangnya lubang di lantai gedung akibat sabit Refiro. Tetapi sayang, yang dia lakukan membuat lukanya semakin terbuka. Darah yang keluar semakin banyak. Synn terhuyung dan jatuh, tetapi dia masih tersadar.
         "Maaf, aku sudah melukaimu. Sebenarnya kau tidak perlu membangun pelindung seperti ini."
         "Ma-maksudmu," ucap Synn lemah.
         Tanpa menjawab, Refiro perlahan bangkit, mengulurkan tangannya ke arah pedangnya yang tergeletak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pedang itu bercahaya, terangkat pelan ke atas, lalu meluncur lembut ke tangan Refiro. Cahaya pedang itu semakin kuat, menyilaukan. Lalu pedang itu berubah perlahan menjadi sebuah jam pasir yang ukurannya lebih besar dari bentuk asalnya. Refiro meletakkan tangan kanannya di atas jam pasir besar itu dan tangan kirinya di bawah. Seketika cahaya itu berubah dari putih menjadi hijau, lalu muncul kabut yang juga berwarna hijau di sekeliling jam pasir itu. Refiro membalik jam pasir itu, membuat ruangan gedung itu diselubungi kabut hijau pekat.
         Synn merasakan tubuhnya sejuk, terbalut kabut hijau yang terasa lembut. Ini kekuatan Marv, pikir Synn. Tapi apa?
         Dalam sekejap, kabut itu kembali tersedot oleh jam pasir Refiro dan cahaya hijau darinya pun lenyap. Synn agak terkejut. Lukanya sembuh, bahkan sakitnya pun tak terasa sama sekali. Baju Synn yang juga terkoyak akibat tebasan pedang Refiro pun kembali menutup. Seolah dari awal tidak terjadi apa-apa di sana. Ditambah lagi bekas luka jahitan di tangan kirinya yang dia dapat beberapa hari lalu juga lenyap tak berbekas.
         "Apa yang kau lakukan?" tanya Synn heran. "Kekuatan Marv apa yang kau punya?"
         "Waktu," jawab Refiro pendek.
         "Kau memutar ulang waktu?" Synn memasang ekspresi setengah tidak percaya. "Bukankah itu terlalu praktis? Jangan-jangan... ada resikonya...?"
         "Ya," Refiro menatap mata biru Synn. "Umurku resikonya. Umurku akan berkurang jika aku merekayasa waktu."
         "Berarti sama saja kau memperpendek umurmu kan. Kekuatan seperti itu, dimiliki pun percuma kan?" ucap Synn, yang nadanya jelas terdengar khawatir.
         Refiro agak tertegun menanggapi sikap Synn. Tertegun karena baru kali ini dia dikhawatirkan seseorang karena kekuatannya. Itu membuatnya semakin simpati pada Synn, bukan sebagai Sang Terpilih melainkan sebagai orang yang peduli padanya.
         "Mungkin itu sudah takdirku," ucap Refiro, memandang ke arah jendela besar yang berada di sisi atas gedung. "Aku tidak tahu kenapa aku mendapat kekuatan yang seperti bumerang pada diriku sendiri ini. Tapi aku yakin pasti kekuatanku ini akan bisa berguna suatu saat, pasti ada tujuannya kenapa aku memiliki kekuatan seperti ini. Dan aku bertekad akan menggunakannya untuk orang-orang yang aku sayangi, termasuk kau." Refiro mengerling pada Synn. "Aku mulai menganggapmu sebagai teman, bukan sebagai Sang Terpilih atau apa. Boleh?"
         Synn terheran memandang Refiro. Saat itu entah bagaimana dia benar-benar merasa tidak lagi sendirian. Dia memiliki teman, yang pasti akan selalu berjuang bersama-sama dengannya. Ada suatu kemiripan yang Synn rasa ada pada diri mereka berdua. Mungkin rasa kehilangan, mungkin luka, mungkin rasa kesepian, tapi yang pasti adalah rasa ingin saling melindungi.
         Dengan lembut Synn tersenyum, "Tentu saja boleh."
         "Ternyata biar bagaimanapun kau berpenampilan seperti laki-laki, kau memang perempuan," celetuk Refiro, tertawa.
         Wajah Synn memerah, tidak sanggup membalas kata-kata Refiro. Tapi dia semakin yakin, dia akan berteman sangat baik dengan Refiro.



***



Hari ini jam pertama adalah olahraga. Synn sudah berada di dalam ruang ganti cowok bersama teman-teman cowok satu kelasnya. Baju olahraganya sudah ia kenakan di bawah seragamnya, jadi dia cukup melepas seragamnya saja, lalu menyimpannya di dalam loker. Hal yang sama juga dilakukan teman-temannya.
         Sampai detik itu semuanya tidak menjadi masalah. Tetapi yang jadi masalah adalah nanti, ketika mereka semua harus melepas baju olahraga dan menggantinya dengan seragam masing-masing. Dia tidak mungkin melepas seragamnya dan menggantinya di depan teman-teman cowoknya kan.
         Tetapi Synn mengenyahkan pikiran itu dan mencoba bersikap biasa. Pasti ada caranya, pikir Synn.
         Materi hari ini adalah lari jarak pendek. Setiap 5 siswa berlomba mencapai target waktu yang ditentukan. Dan urutan-urutan pertama diawali oleh para siswa cowok.
         Menunggu gilirannya, Synn duduk menyendiri. Sekilas dia memikirkan bagaimana caranya berganti pakaian dengan aman, tetapi masih saja belum menemukan cara yang tepat.
         “Synn, giliranmu,” tegur Valvyora. Synn bangkit, berjalan menuju garis start.
         Wah, bertanding lari dengan cowok nih, gumam Synn.
         Synn melirik siswa di sebelah kirinya, yang ternyata adalah Feroz. Feroz tersenyum, seolah menantangnya berlomba satu lawan satu. Synn membalas senyumannya, mengiyakan tantangan Feroz.
         DOR
         Kelima siswa itu melesat bersamaan. Synn mengimbangi Feroz, melupakan tiga temannya yang lain, menikmati terpaan angin yang menyapu wajahnya sambil tetap berusaha menjajari Feroz. Napas Synn mulai memburu sebelum Feroz, tetapi dia tetap tidak mau kalah. Beberapa meter sebelum finish, Synn mulai merasa lelah. Dia benar-benar hampir kehabisan napas. Tapi dia mencoba tetap bertahan. Dan akhirnya duel itu dimenangkan Feroz, yang memasuki garis finish 3 detik lebih awal sebelum Synn.
         “Hahahahaha… Hebat juga kau,” ucap Feroz, agak tersengal-sengal. Synn hanya tersenyum, tidak sanggup menjawab. Suaranya sudah dikalahkan oleh napasnya. Synn berjalan terseok menuju tepi lapangan, jatuh terduduk di atas rumput, berusaha mengatur napasnya. Feroz menyusul Synn, duduk di sebelahnya. “Belum ada yang berjuang sungguh-sungguh mengimbangiku sepertimu.”
         Mata Synn membulat. “‘Belum ada’?” tanya Synn, di antara sengal napasnya.
         “Iya,” jawab Feroz pendek, yang jelas bukan jawaban dari apa yang ingin diketahui Synn. Feroz bangkit berdiri. “Aku cuci muka dulu.”
         “Oke,” sahut Synn.
         Setengah berlari, Feroz meninggalkan Synn. Ketika sejenak Synn merasa duduk sendirian, tiba-tiba Valvyora sudah berdiri di sampingnya, lalu ikut duduk di samping Synn.
         “Hebat sekali kau, hampir mengalahkan Feroz,” komentar Valvyora.
         “Karena bertanding melawan cowok, maksudmu?” Synn memelankan suaranya saat menyebut kata “cowok”.
         “Itu juga.”
         “‘Juga’?” Synn mengernyitkan dahinya.
         “Iya. Kan Feroz itu ikut klub atletik. Tahun lalu dia juara nasional lari jarak pendek.”
         Synn menelan ludahnya. Juara nasional lari jarak pendek? Juara nasional?! Pantas saja dia harus memforsir tenaganya gila-gilaan supaya bisa mengimbangi Feroz. Bagi Synn bertanding lari melawan cowok itu bukan hal yang luar biasa. Staminanya memang sangat bagus sebagai cewek. Tetapi dia cukup terkejut setelah mengetahui lawannya tadi adalah seorang juara nasional.
         “Kelihatannya kau lumayan gampang menyesuaikan diri dengan penyamaranmu ya,” Valvyora merendahkan suaranya. “Wajah, suara, stamina. Tidak akan ada yang curiga.”
         “Tidak segampang yang kelihatannya kok.”
         “Ah, iya juga ya.” Valvyora tertawa kosong, tampak menyesali kata-katanya.
         “Ngomong-ngomong, kau sudah selesai lari?” tanya Synn, mengalihkan pembicaraan.
         “Sudah. Selesai lari tadi kan aku langsung menghampirimu.”
         “Eh?” Synn agak terkejut. Synn mengingat-ingat kejadian tadi. Dan dia yakin Valvyora tidak sedikitpun tampak kelelahan saat menghampirinya tadi. Masa dia cuma jalan pelan-pelan? pikir Synn, yang menurutnya pikiran seperti itu sangat bodoh.
         “Valv, boleh aku tanya sesuatu?” ucap Synn agak ragu.
         “Ya?”
         “Mungkin pertanyaanku ini konyol, tapi aku bohong kalau aku bilang tidak heran.”
         “Lalu?”
         “Setelah berlari, kenapa kau sama sekali tidak tampak kelelahan? Keringat pun hanya sedikit.”
         “Yah, itu memang ada penjelasannya,” jawab Valvyora serius, lalu tersenyum. “Tapi mungkin lebih baik besok malam saja ya. Oya, aku baru sadar, kenapa bekas jahitan di tanganmu tidak ada?”
          "Oh, ini. Kemarin ada yang menyembuhkannya."
          "Tapi, bisa sebersih itu. Apa kau bertemu Marv lain?" Valvyora merendahkan suaranya.
          "Aku rasa besok saja kita bicarakan."


***



Bersama teman-teman cowoknya, Synn berjalan menuju kamar ganti cowok. Dalam pikirannya masih terngiang kalimat terakhir Valvyora sebelum jam olahraga diakhiri. Itu membuatnya semakin penasaran tentang apa yang kira-kira akan dibicarakan oleh Valvyora besok malam.
         Sesampainya di kamar ganti, Synn berencana untuk ganti di ruang shower yang ada di dalam ruang ganti. Memang hanya ada 2 ruang shower, tetapi jarang digunakan selain setelah kegiatan klub olahraga. Itu membuatnya lebih mudah berganti baju diam-diam.
         Cepat-cepat Synn mengambil seragamnya di loker dan beringsut menuju ruang shower. Tanpa diduga, Feroz berdiri di dekat ruang shower. Ups.
         “Kau tidak berencana mandi kan?” tanya Feroz.
         “Ti-tidak, hanya ganti baju,” jawab Synn gugup.
         “Kenapa tidak di sini saja?”
         “Anu, eum… Aku… Ada bekas luka di dadaku. Aku malu,” bisik Synn pada dua kalimat terakhirnya.
         “Lho, bukannya keren? Tapi terserahlah.”
         Synn menarik napas lega. Untung saja. Dia berharap Feroz tidak menaruh curiga sama sekali. Cepat-cepat dia masuk ruang shower dan lalu menukar bajunya. Sekilas dia mengingat kembali alasan yang dia berikan pada Feroz tadi, lalu menunduk. Memang benar ada bekas luka, bekas luka tembak, tepat di mana ada jantung di dalam dadanya.


***


“Jadi kau punya bekas luka?” celetuk Feroz tiba-tiba, saat mereka berdua sama-sama sedang belajar di kamar.
         “I-iya,” jawab Synn.
         “Oh, pantas kau tidak pernah bertelanjang dada. Apa gara-gara sweeping itu?”
         “Eh?” Synn sempat tertegun, tidak mengira terkaan Feroz sangat tepat. Tetapi setelah dipikir lagi siapapun bisa saja terluka dan mati saat itu kan. “Iya,” jawab Synn, jujur.
         “Memang setelah kejadian itu tak ada satupun yang tidak terluka ya.” Feroz memandang langit-langit kamar, menerawang. “Termasuk juga luka hati.”
         “Benar,” jawab Synn, tertunduk.
         “Ah, sudahlah. Tidak perlu mengingat hal-hal yang pahit. Yang penting kita harus memikirkan apa yang ada di depan kan? Kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani.” Feroz tersenyum. Tetapi Synn melihat ada garis kesepian pada senyumannya, seperti yang juga terlihat pada senyumannya sendiri di setiap fotonya pada hampir separuh hidupnya.
         “Boleh aku jadi temanmu?” ucap Synn. Mata Feroz membulat heran.
         “Bicara apa kau? Tentu saja boleh.”
         “Aku hanya… Sudah lama aku tidak memiliki teman,” jelas Synn, memandang jari-jari kakinya.
         “Ya, aku mengerti.” Feroz meregangkan tangannya ke atas. “Aku juga sudah lama tidak mengakrabkan diri dengan orang lain.” Kini giliran mata Synn yang membulat heran.
         “Semoga kita menjadi sangat akrab ya,” Feroz bangkit dari kursi belajarnya, mendekati Synn, lalu mengulurkan tangan, menunggu jabatan Synn.
         Synn menyambut tangan Feroz, tersenyum. “Ya.”
         Feroz kembali duduk di kursinya. “Ngomong-ngomong tugas ini rasanya tidak selesai-selesai ya?”
         “Oya? Aku baru saja selesai,” jawab Synn enteng.
         “Apa? Wah, aku memang tidak bakat kerja tugas.”
         Mendengar kalimat Feroz, tawa Synn langsung meledak. “Baru kali ini aku dengar ada orang tidak punya bakat kerja tugas,” ucap Synn di sela-sela tawanya. Feroz hanya nyengir kuda.
         Mendadak lantai kamar mereka bergetar. Alat-alat tulis di atas meja berkeletak-keletak. Perabotan di dalam kamar juga mulai ikut bergetar. Gempa. Dan cukup kuat.
         Sekilas Synn merasakan aura kekuatan sihir yang sangat kuat, kekuatan yang sama kuatnya dengan lima batu sihir pelindung Edelstein. Batu Deus, simpul Synn, mendadak bangkit berdiri. Synn tidak menyadari koper dan barang-barang berat lain di atas lemari mulai bergeser dan jatuh ke atas dirinya.
         “Awas,” teriak Feroz, mendorong Synn hingga terjatuh duduk, menggunakan punggungnya sebagai pelindung Synn. Hasilnya, barang-barang itupun menimpa Feroz. Feroz mengerang pelan, menahan nyeri di punggungnya. Synn yang agak shock, hanya terdiam.
         Lantai kamar masih bergetar. Tubuh Feroz masih berada di atas tubuh Synn. Terasa sekali perasaan aman yang dirindukan Synn, sesuatu yang telah hilang bersamaan dengan kematian kakaknya. Samar-samar Synn mencium aroma tubuh Feroz. Tiba-tiba jantung Synn berdebar, semakin kencang, berlawanan dengan getaran di lantai dan benda-benda sekitar mereka yang mulai pelan.
         Getaran-getaran dari tanah yang mereka pijak akhirnya menghilang sepenuhnya. Sesaat mereka masih tetap pada posisi yang sama, menunggu apakah gempa masih akan berlanjut atau berhenti sepenuhnya. Lalu mata mereka bertemu, sadar bahwa jarak wajah mereka berdua hanya tinggal beberapa senti. Wajah Synn memerah, dan—mengherankan—wajah Feroz juga mulai bersemu merah. Padahal Feroz kan mengenal Synn sebagai cowok. Refleks, Feroz menghindar—bangkit berdiri lalu berdeham sebentar. Synn segera berdiri, lalu duduk di kursi belajarnya. Sesaat mereka bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Situasi ini menjadi rumit dan tidak karuan.
         "Punggungmu tidak apa-apa?" tanya Synn, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang masih semburat merah.
         "Oh, tidak apa-apa," jawab Feroz, yang tampaknya sudah bisa menormalkan emosinya.
         Synn menggeser tubuhnya menghadap meja, membelakangi Feroz. "Terima kasih."
         "Jangan sungkan," jawab Feroz. Meski dia tidak memandang wajah Feroz,
dari nadanya Synn tahu bahwa Feroz tersenyum saat mengucapkan kalimat barusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar