Selasa, 07 Desember 2010

Chapter 5 - The Past [part 2 : The Murder]



You can't go back to the past..
Even when you really want to repair it..
No matter how hard you try..
The past can't be changed..



"Kak, aku pergi dulu ya." Synn berdiri di samping kakaknya, dengan rambut cokelatnya yang rapi dikucir kuda.
    Cruz melepas computer-glasses-nya. "Lho, jadi pergi?"
    "Iya. Aku pergi dengan Mai. Kakak tidak ikut?"
    "Maaf, kakak sibuk. Ini benar-benar tidak bisa ditinggal. Kau bersenang-senanglah. Tapi hati-hati ya."
    "Ah kakak. Aku kan sudah dua belas tahun." Synn mengerucutkan bibirnya.
    Cruz tertawa kecil. "Iya iya. Oya, soal kekuatanmu..."
    "...yang dinyatakan sebagai bentuk mutasi itu kan?" sambung Synn. "Kenapa?"
    "Kakak baru dapat informasi dari salah satu tetua Blue State. Katanya orang yang memiliki kekuatan itu adalah orang-orang tertentu saja dan disebut Marv. Tapi karena kemungkinan itu bisa membahayakan dirimu sendiri, lebih baik jangan gunakan di depan orang banyak."
    "Baik, Kak." Synn mengangguk. "Ngomong-ngomong, proyek apa sih yang dikerjakan kakak? Sepertinya lebih berat dari biasanya." Synn menghampiri kakaknya, curi-curi pandang ke arah computer-glasses.
    "Yah, memang kakak baru terima proyek besar. Makanya, doakan berhasil ya."
    "Pasti dong Kak. Pokoknya jangan sampai lupa makan dan istirahat saja."
    "Iya." Cruz tersenyum.
    "Nah, aku pergi dulu ya." Synn setengah berlari menuju pintu, melambaikan tangannya. Cruz membalasnya dengan senyuman simpul, lalu kembali berkutat dengan komputernya setelah Synn hilang dari pandangannya.
    Dengan napas tersengal-sengal, Synn akhirnya tiba di halte bus yang jaraknya dua kilometer dari rumahnya. Mai, yang sudah tiba duluan di halte, setengah tidak percaya jika benar Synn berlari dari rumahnya, setelah sepuluh menit lalu Synn menelepon Mai untuk memberitahu bahwa dia baru saja berangkat dari rumah.
    "Kau tadi lari dari rumah sampai sini?" tanya Mai.
    "Tentu saja," sahut Synn yakin dengan jempol teracung.
    "Dasar maniak olahraga."
    Untunglah Synn tepat waktu. Bus berikutnya tiba tak lama kemudian. Mereka berdua pun segera masuk ke dalam bus yang sudah hampir penuh itu. Kebanyakan penumpangnya adalah anak-anak seumuran mereka yang juga sedang berlibur. Melihat ada dua kursi bersebelahan yang kosong di bagian agak belakang, Synn dan Mai cepat-cepat mendudukinya sebelum didahului orang lain. Dan Synn memilih duduk di dekat jendela.
    "Hore, kita dapat kursi yang nyaman," ucap Mai girang. Synn juga tersenyum senang. "Liburan kali ini harus menyenangkan. Karena kita jadi jarang bertemu sejak kau pindah ke Pearl. Sudah begitu aku juga pindah ke rumah yang agak jauh dari rumahmu. Aku kan kangen."
    "Sudah, sudah. Jangan berlebihan begitu." Synn menjitak pelan kepala Mai.
    Bus yang mereka tumpangi pun melaju, membawa seluruh penumpangnya ke daerah wisata kota Agate.
    "Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak kembali ke sekolah?" tanya Mai.
    "Yah, maunya begitu. Tapi kondisi belum memungkinkan. Tapi selama ini kakakku membantuku belajar lewat kurikulum home-schooling di net."
    "Begitu ya? Tapi aku benar-benar kesepian tanpa kamu."
    "Sama kok. Aku juga."
    Tiba-tiba bus berhenti mendadak. Rupanya sebuah mobil militer berhenti di depan bus. Para petugas militer yang jumlahnya kira-kira 10 orang keluar dari mobil itu, lalu menyerbu masuk ke dalam bus, berdiri berjajar di sekitar bagian depan bus. Seluruh penumpang terkejut, beberapa gemetar ketakutan seolah bisa menebak apa yang akan terjadi lima menit ke depan. Synn sendiri merasakan firasat buruk, tetapi dia berusaha tetap tenang dan membaca situasi.
    "Perhatian semuanya," seseorang dengan pangkat komandan angkat bicara. "Saya mendapat informasi bahwa di bus ini ada orang yang dipercaya memiliki kaitan erat dengan obyek penelitian Styrax. Oleh karena itu, saya mendapat perintah untuk melakukan pembersihan di sini. Laksanakan!" perintah sang komandan kepada anak buahnya.
    Apa? jerit Synn dalam hati.
    Tetapi belum sempat seluruh penumpang menyadari maksud omongan sang komandan, mereka sudah dihujani dengan tembakan, dimulai dari penumpang yang duduk di kursi penumpang bagian depan. Darah berceceran di mana-mana, jeritan ketakutan terdengar begitu mengerikan dan memilukan. Mereka semua benar-benar dibantai.
    Synn menunduk, panik setengah mati, menutupi kepalanya dengan tangan, memaksa dirinya untuk tidak menjerit, sementara orang-orang yang duduk di kursi-kursi di depannya ditembaki hingga mati. Dia merasakan tubuhnya gemetar ketakutan.
    Sementara itu Mai, yang terlalu terpaku pada ketakutan atas pembantaian di depan matanya, dikejutkan oleh salah seorang petugas militer yang menodongkan senapannya ke arah kepalanya. Seketika itu juga sebuah peluru menembus dahinya.
    "TIDAAAAK!!!" Synn menjerit, menerjang memeluk Mai yang sudah tak bernyawa. Tetapi petugas militer itu segera mengarahkan senapannya ke arah kepala Synn dan menembak pelipisnya.
    Synn terjatuh di atas tubuh Mai. Pandangannya memudar, digantikan dengan kegelapan yang pekat. Dia merasakan panas yang amat sangat dari pelipisnya yang tertembus peluru, tetapi tidak ada rasa sakit. Aneh. Dia masih setengah sadar. Dia bisa mendengar sang komandan pasukan bicara kepada anak buahnya tentang kepastian bahwa semua penumpang bus beserta supirnya sudah mati. Dia bahkan bisa mendengar napasnya yang mulai memburu, menahan sakit yang mulai muncul dari pelipisnya.
    "Hei, yang ini masih bernapas," celetuk salah satu petugas militer yang berdiri di samping kursi yang diduduki Synn dan Mai.
    "Bagaimana bisa...? Aku sudah menembak kepalanya," sahut petugas yang menembak Synn dan Mai, merasa yakin dia tadi sudah membunuh mereka.
    "Tunggu apa lagi? Pastikan semuanya mati," perintah sang komandan.
    Si penembak Synn menempelkan senapannya ke tengah dada Synn, lalu menembaknya. Synn merasakan panas yang luar biasa di dadanya, lalu perlahan kesadarannya memudar.
    Aku tidak boleh mati, bisik hati kecil Synn.
    "Ledakkan bus ini," perintah sang komandan. "Pastikan tidak ada yang tersisa."
    "Siap!"
    Samar-samar Synn mendengar orang-orang militer itu pergi. Tak lama kemudian, muncul suara seseorang mendobrak pintu bus. Dia merasakan seseorang mengangkat tubuhnya dan membawanya berlari entah ke mana. Detik berikutnya, dia mendengar ledakan yang begitu keras memekakkan telinga, lalu kesadarannya benar-benar menghilang dalam dekapan seseorang yang tidak dia kenali.


***


"Synn," suara seseorang yang sangat dikenal Synn bergaung di telinganya. Perlahan mata Synn terbuka, menemukan sosok kakaknya duduk di samping ranjangnya.
    "Kakak," sahut Synn lemah. "Di mana ini?"
    "Ini di rumah Dokter Syezierch, teman dekat ayah," jelas kakaknya.
    Lalu masuklah seorang pria yang kira-kira usianya sama dengan ayah Synn. Rambutnya berwarna perak dan iris mata cokelatnya begitu teduh. Sesaat Synn merasa rindu pada sosok ayahnya. Pandangan teduh pria itu begitu mirip dengan ayahnya.
    "Bagaimana perasaanmu?" tanya pria itu kepada Synn.
    "Tidak terasa apa-apa," jawab Synn lemah.
    Pria itu tertawa kecil. "Jawabanmu unik. Kenalkan, saya Dokter Syezierch, teman ayahmu. Ajaib kau bisa selamat dari dua tembakan mematikan di daerah vital," ucapnya, sembari memeriksa Synn.
    "Saya sempat merasa ada seseorang yang menggendong saya setelah saya tertembak. Apakah itu anda?"
    "Ya," jawab Dr. Syezierch, tersenyum. "Bus itu diledakkan tak lama setelah aku membawamu keluar."
    "Bagaimana anda tahu saya ada di dalam bus itu?"
    "Ceritanya panjang dan saya rasa tidak penting. Ada yang lebih penting untuk kalian ketahui dan harus lakukan." Selesai memeriksa Synn, Dr. Syezierch duduk di kursi di samping ranjang Synn. "Saya rasa kondisimu sudah memungkinkan untuk mendengar apa yang akan saya katakan."
    "Tentang apa?" tanya Cruz. Ekspresi cemasnya tak pernah hilang, dibalik garis keletihan di wajahnya. Jelas sekali menampakkan bahwa dia khawatir setengah mati setelah kejadian yang menimpa adiknya.
    "Ada sesuatu yang membuat kalian berada dalam bahaya. Dan rupanya ada pihak yang ingin membunuh Synn. Aku tidak bisa menjelaskan apa sebabnya. Tetapi kini mereka yakin Synn sudah meninggal di dalam bus itu.  Satu-satunya jalan keluar agar Synn aman adalah dengan mengubah identitasnya. Kita harus membuat mereka benar-benar yakin bahwa Synn benar-benar telah tewas." Dr. Syezierch mengerling pada Synn. "Akan lebih meyakinkan jika kau mau menyamar menjadi anak laki-laki. Itu lebih efektif untuk menyembunyikan identitas aslimu."
    "Jadi anak laki-laki?" tanggap Synn lemah.
    "Ya." Mata biru Synn bertemu dengan mata cokelat Dr. Syezierch. "Tapi sebaiknya kau tidak berpikir berat-berat dulu. Pulihkan dulu dirimu. Sisanya, urusan saya dengan kakakmu." Dr. Syezierch bangkit berdiri, mengerling pada Cruz, lalu berjalan keluar kamar. Seakan mengerti maksudnya, Cruz pun bangkit dan berjalan mengikuti Dr. Syezierch.
    Dan lalu perlahan, Synn merasa sangat mengantuk sampai akhirnya kembali tertidur.


***


"Rambutmu jadi harus dipotong," ucap Cruz, memperhatikan penampilan baru Synn.
    "Tidak apa-apa," sahut Synn. "Jadi lebih ringkas kok."
    "Lalu soal nama, mungkin lebih baik kau pakai nama keluarga Carnelian. Tidak terlalu mencolok dan itu nama yang umum."
    "Terserah saja deh kak. Aku menurut saja." Synn tersenyum.
    Cruz menepuk kepala Synn pelan. "Apapun yang terjadi pada kita, jangan pernah menyalahkan siapapun ya. Ini memang bukan keadaan yang kita inginkan, tapi yakinlah suatu saat kita bisa menjalani hidup yang lebih baik."
    Synn mengangguk pasti. "Iya, kak. Dan lagi aku bersyukur aku bisa pulih sepenuhnya selama setahun ini."
    "Yah, ini semua berkat terapi dari Dokter Syezierch dan kemampuan luar biasamu."
    "Synn, Cruz, aku mohon kalian segera berkemas," ucap Dr. Syezierch, tiba-tiba menghambur masuk ke dalam kamar yang ditempati Synn.
    "A-apa maksudnya?"
    "Cruz, kembalilah ke rumahmu, ambillah apa yang harus kau ambil. Lalu larilah ke kota Jade, ke tempat ini." Dr. Syezierch menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat. "Tinggallah di rumah itu. Di sana lebih aman untuk sementara."
    "Ta-tapi kenapa...?"
    "Cepatlah!" perintah Dr. Syezierch, tampak sangat panik.
    Cruz dan Synn segera mengikuti perintah Dr. Syezierch, mengemasi semua barang-barang mereka, lalu bergegas pergi dari rumah Dr. Syezierch tanpa sempat memahami alasan mereka harus segera pergi.
    Sesuai perintah Dr. Syezierch, Cruz dan Synn kembali ke rumahnya dahulu. Dan hanya satu hal yang dipahami Cruz : dia harus membawa komputernya. Bahwa yang dimaksud Dr. Syezierch "mengambil hal yang penting" adalah membawa semua data Styrax. Apakah alasan mereka harus lari ke kota Jade ada hubungannya dengan data Styrax?
    Setelah yakin membawa semua hal yang penting, Cruz dan Synn segera menuju capsule express station, bersiap menuju kota Jade.


***


"Kak," panggil Synn tiba-tiba. "Apa kakak mengetahui sesuatu tentang apa yang terjadi?"
    Cruz melepas computer-glasses-nya. "Tentang apa?"
    "Tentang kenapa kita harus melarikan diri seperti ini."
    Sesaat Cruz tertegun. "Kau sudah menanyakan tentang ini beberapa kali. Kau benar-benar ingin tahu?"
    "Tentu saja," sahut Synn mantap.
    Cruz menepuk kepala Synn. "Sebenarnya hal-hal seperti itu tidak perlu kau pikirkan. Kau hanya perlu memikirkan apa yang akan kau lakukan di masa depan. Yakinlah, kita akan selalu baik-baik saja." Cruz tersenyum pada adiknya.
    Synn memandang wajah kakaknya, sedikit merasa ragu. Tapi lalu dia membalas senyuman kakaknya. "Iya, kita pasti baik-baik saja."
    Synn berjalan menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari ruang komputer kakaknya. Dia mengambil setoples kue di lemari atas, membawanya ke depan televisi, duduk di sofa, lalu menyalakan televisinya.
    "Ngomong-ngomong kak, apa kakak sudah mendapatkan kabar dari Dokter Syezierch?" Synn membuka tutup toples di pangkuannya, mengambil satu kue dari dalamnya, lalu menggigitnya.
    Cruz meletakkan kembali computer-glasses-nya ke atas meja. "Belum. Selama tiga tahun ini kakak sama sekali tidak mendapat kabar apapun dari beliau. Kalaupun dia tertangkap, seharusnya ada berita tentang itu. Kakak juga tidak berani melakukan kontak. Justru membahayakan beliau dan kita juga."
    Synn menatap kosong kue di tangannya. "Semoga tidak terjadi apa-apa padanya."
    "Ya. Semoga beliau baik-baik saja."
    "Astaga!" Synn menepuk dahinya.
    "Apa? Kenapa?" sahut Cruz, mendadak berdiri dari kursinya.
    "Ah, tidak." Synn menggaruk-garuk kepalanya. "Aku melupakan sesuatu." Synn melahap sisa kue di tangannya, menutup kembali toples kuenya dan meletakkannya di atas meja di depan sofa, lalu mematikan televisinya dan berdiri. "Ada sesuatu yang harus aku beli di minimarket. Aku pergi dulu ya."
    "Hm? Ya, hati-hati."
    Setengah berlari, Synn keluar dari rumah menuju minimarket yang jaraknya dua ratus meter dari rumah yang dia tempati.
    "Bodoh sekali aku ini," ucap Synn pelan kepada dirinya sendiri. "Padahal kemarin sudah direncanakan, tapi kenapa hari ini malah lupa ya? Aku ingin sekali bisa membuat kakak senang. Dan hari ini akan jadi hari ulang tahunnya yang spesial."
    Synn bersiul-siul riang, memasuki minimarket. Dia memilih bahan-bahan yang dia butuhkan untuk membuat masakan kesukaan kakaknya. Sebenarnya dia tidak begitu pandai memasak seperti ibunya, tapi dia hapal betul resep masakan yang satu itu sehingga dia yakin dia pasti bisa membuatnya dengan sukses.
    Selesai membeli semua bahan, Synn berjalan pulang sambil tetap bersiul-siul.  Ketika membelok di tikungan terakhir menuju rumahnya, sebuah mobil militer berpapasan dengan Synn. Synn tersentak. Jangan-jangan mobil itu tadi dari rumah yang dia tempati. Merasakan firasat buruk, Synn segera berlari kembali ke rumahnya.
    Synn menjeblak pintu rumahnya dengan kasar. Alangkah terkejutnya dia menyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya. Tubuhnya membatu di tempat. Tangannya mulai gemetar, mendekap mulutnya. Air matanya pun mulai merembes keluar.
    Di tengah ruangan, sosok seseorang yang sangat disayangi oleh Synn, bersimbah darah. Kedua tangannya direntangkan dan diikat ke arah berlawanan, seperti disalib, tetapi dengan posisi yang sangat rendah sehingga seolah sedang berlutut.
    "Kakak!!!" Synn menghambur masuk, menghampiri kakaknya.
    "Synn?" sahut Cruz lemah. Darahnya tampak keluar dari seluruh pori-pori kulitnya, membuat tubuhnya bermandikan darah.
    "Bertahanlah kak, akan aku panggil dokter."
    "Tidak usah...," sahut Cruz, terbatuk-batuk. "Ini... racun Agni." Mata Synn terbelalak. "Tak ada... yang... bisa dilakukan... dokter manapun."
    Mendengar itu, air mata Synn semakin deras membanjiri pipinya.
    "Dengarlah... Pergilah ke Pearl... Grazzleford Highschool... Takdirmu... ada di sana..."
    Setelah mengucapkan itu, tubuh Cruz jatuh pada tumpuan di kedua tangannya, tak bernapas.
    "Tidak..." Synn mendekap mulutnya. "Kak..?! Kakak??" meraih wajah kakaknya, mengguncangnya perlahan. "Kak, jangan tinggalkan aku. Kakak!!" Synn memeluk erat tubuh kakaknya yang sudah tidak bernyawa. "TIDAAAAAK!!!!!"