Seseorang berjubah putih duduk di kursi di salah satu sisi ruangan yang mirip aula itu. Empat orang lainnya tampak berdiri di hadapannya, juga memakai jubah putih.
Aula itu terlihat sedikit tidak nyata, dindingnya sedikit tertutup kabut dan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk. Kelima orang itupun hanya terlihat samar-samar dalam keremangan.
“Belum kau temukan, Masqurade?” tanya laki-laki yang duduk di kursi.
“Belum,” jawab laki-laki yang berdiri paling kiri. “Padahal menyusup di antara siswa di sekolah itu jauh lebih mudah daripada harus sekolah di sana.”
“Kau sih dasarnya malas sekolah,” sahut anak perempuan yang jauh lebih pendek di sebelahnya.
“Kau tahu itu merepotkan,” balas Masqurade, tampak tersenyum yang mirip senyuman palsu dalam keremangan.
“Hypno, bagaimana denganmu?” tanya perempuan yang lebih tinggi di sebelahnya.
“Aku rasa akulah yang paling sulit menemukannya,” jawab si anak perempuan. “Waktuku lebih banyak di bagian sekolah dasar. Padahal orang yang kita cari itu seumuranmu kan.”
“Memang yang lebih mudah menemukannya itu Masqurade, Metallist—akan lebih mudah jika dia menjadi siswa Grazzleford, dan kau sendiri, Lightning,” komentar laki-laki tertinggi yang berdiri di sisi paling kanan.
“Ya, kau benar, Illusion,” jawab laki-laki yang duduk di depan keempat rekannya. “Tapi aku pun belum berhasil menemukannya.”
“Sesulit itukah?” ucap Hypno, tertunduk.
“Tapi tadi pagi,” sambung Lightning, “aku merasa ada yang menggunakan kekuatan Marv di lingkungan Grazzleford.”
Keempat orang itu serentak terkejut.
“Bukankah sejak kita masuk ke sekolah ini, tidak sekalipun kau merasakan kekuatan Marv selain kami?” sahut Metallist, mengernyitkan dahinya.
“Itu benar,” jawab Lightning datar.
“Berarti mungkin saja itu ‘dia’,” sahut Hypno.
“Mungkin saja.” Dalam keremangan Lightning menerawang ke luar jendela aula itu.
Selama beberapa saat kelima orang itu terkunci dalam kesunyian. Tak ada satupun yang bicara.
“Negeri ini benar-benar aneh,” ucap Lightning, memecah keheningan. “Sistemnya begitu teratur, disokong lima batu utama yang ada di lima wilayah berbeda. Tetapi gara-gara kemunculan satu batu saja sistemnya langsung goyah. Bahkan sang gadis abadi pun tertidur bertahun-tahun, entah kapan akan terbangun—dan bahkan mungkin tidak akan terbangun sampai takdir dunia ini jelas.”
“Sejujurnya aku tidak peduli pada dunia ini,” ucap Hypno dingin. “Tak ada sesuatu yang berharga yang bisa dipertahankan.”
“Bukankah untuk itu kita semua di sini?” sahut Masqurade, masih dengan senyum palsunya.
“Ya, takdir dunia ini tak bisa diubah,” Lightning menatap mereka berempat, “bahkan oleh Sang Terpilih. Tapi aku ada untuk memastikan dia menjalankan tugasnya.”
***
Pagi-pagi sekali Synn sudah berada di kelas. Kelas masih sangat sepi. Dia adalah penghuni kelasnya yang pertama dan satu-satunya saat itu. Synn duduk di bangkunya yang posisinya tepat di sebelah jendela. Dari sana ia dapat melihat satu-satunya pohon cruz di sekolah itu.
"Pagi, Synn," sapa seorang gadis yang mulai akrab dengannya sejak pembicaraan serius kemarin siang. Tapi itu juga karena Synn merasa ia memiliki ikatan yang erat dengannya. "Kau selalu datang pagi, ya."
"Pagi, Valv," jawab Synn.
"Bagaimana tanganmu?"
"Sudah lebih baik," balas Synn, tersenyum.
"Aku bawa sesuatu untukmu." Valvyora menyodorkan tas tenteng hitam seukuran tas laptop ke atas meja Synn.
"Apa ini?"
Valvyora memandang berkeliling, memastikan tak ada orang lain yang bisa mendengar pembicaraan mereka. "Ini cara kita bisa bicara berdua tanpa didengar siapapun."
"Eh?" Synn mengernyit, tidak mengerti.
"Setelah sekolah berakhir, cepatlah kembali ke kamar asramamu," Valvyora merendahkan suaranya. "Hari ini teman sekamarmu, Feroz, ada rapat dewan siswa sepulang sekolah. Kau tidak akan perlu repot-repot menyembunyikan ini darinya. Di dalam tas itu sudah aku tulis semua caranya. Bacalah dan lakukanlah."
"I-iya." Synn masih ragu, benar-benar tidak mengerti.
"Kalau begitu, aku tunggu," sahut Valvyora, tersenyum, lalu berjalan keluar kelas meninggalkan Synn sendirian di dalam kelas.
Synn menatap tas itu, masih bingung. Lalu ia meletakkan tas itu di samping bangkunya, di sisi dekat jendela.
Sempat terlintas dalam benak Synn, apa yang membuat ia tidak bisa merasakan aura Valvyora ketika ia berada di dekatnya. Synn yakin Valvyora bukan Marv seperti dirinya, tapi kalau dia manusia biasa harusnya dia bisa merasakan hawa Valvyora ketika ia mendekat.
Lalu pikirannya beralih kepada seseorang yang menyerangnya kemarin. Synn yakin orang yang menyerangnya kemarin juga adalah seorang Marv, meski saat itu penyerangnya tidak menggunakan kekuatannya. Tapi pertanyaannya, siapa dia dan apa alasan orang itu menyerang dirinya?
Matanya kembali menatap pohon cruz di bawah. Sejenak dia berharap bisa berkomunikasi dengan kakaknya melalui pohon itu. Tapi itu mustahil. Secanggih apapun teknologi yang dimiliki negerinya, tidak akan pernah ada cara untuk menghidupkan orang yang sudah mati ataupun berkomunikasi dengan mereka.
Sedikit perih dalam hatinya, mengetahui dirinya kini harus berjuang sendirian. Orang-orang yang paling dikasihinya harus pergi meninggalkannya tanpa memberi penjelasan tentang mengapa dan harus bagaimana. Itu membuatnya semakin merasa sebatang kara.
Lamunannya pun terhenti oleh bel tanda pelajaran pertama dimulai. Mau tidak mau dia harus kembali ke masa kini dan menjalani apa yang sudah ada di depan mata.
***
Dengan langkah cepat, Synn segera kembali ke kamar asramanya. Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui cara dia berbicara dengan Valvyora tanpa diketahui siapapun dan berapa lama rapat yang diikuti Feroz berlangsung. Dia hanya berharap semoga waktunya sempat.
Synn menyusuri jalan menuju gedung asrama, lalu memasuki lobby. Dia sempat tersentak ketika melangkahkan kakinya memasuki lobby. Ada aura seseorang yang dia kenali, seseorang yang ia temui di Grazzleford Campus, orang yang menyerangnya kemarin pagi. Synn hapal betul aura orang yang menyerangnya. Tetapi ruangan itu sudah mulai dipenuhi siswa laki-laki. Sulit memastikan yang mana orangnya.
Synn memperlambat langkahnya, mengulur waktu melewati lobby sebelum masuk ke lift. Tetap waspada, Synn memperhatikan sekelilingnya, menajamkan pandangannya. Tinggal beberapa meter sebelum masuk lift, Synn masih belum menemukan orang yang ia cari. Dia ingin memperlambat lagi langkahnya dan bahkan ingin berhenti. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa menarik perhatian orang yang dicarinya.
Semakin banyak siswa yang berlalu-lalang tak beraturan, membuat Synn putus asa. Akhirnya dia menyerah dan menormalkan tempo langkahnya. Synn lalu berpapasan dengan seorang siswa yang lebih tinggi darinya. Ketika posisi laki-laki itu cukup dekat dengan telinga Synn, ia berbisik, "Kutunggu di gedung olahraga, jam 7 malam ini."
Synn tersentak, menoleh ke arah orang itu—yang tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Tiba-tiba Synn merasa agak merinding, merasakan aura dari penyerangnya kemarin sama dengan laki-laki tadi. Tetapi ia tahu ia harus memastikan apa maksud orang itu. Meskipun dia harus bertarung habis-habisan untuk memperoleh jawabannya.
Duduk bersila di atas ranjang di kamarnya, Synn agak terbengong-bengong memandangi apa yang ada di depannya. Tas hitam dari Valvyora tergeletak di bawah ranjang, sudah kosong. Barang-barang yang tadinya berada di dalam tas itu sudah berjajar di atas ranjang, di depan Synn. Sepotong baju tidur perempuan yang berupa rok terusan, sebuah wig hitam lurus panjang, dan kacamata normal. Sedangkan kertas yang juga salah satu bagian dari isi tas itu berada di tangan Synn, berisi tulisan tangan Valvyora.
Kau mungkin agak terkejut dengan isi tas ini, tapi ini cara terbaik yang terpikirkan. Dua hari lagi pukul 12 malam masuklah ke lobby asrama putri memakai perlengkapan yang ada di dalam tas. Kutunggu di sana.
Jangan khawatir soal sistem keamanan. Asal tak ada yang melihatmu, semua akan aman. Setelah masuk ke kamar asramaku, itu giliranmu. Aku yakin kau bisa.
Valvyora
Synn membaca ulang tulisan Valvyora. Dia benar-benar bingung. Mustahil menembus sistem keamanan Grazzleford, apalagi di tengah malam begitu. Tetapi dia mulai berpikir mungkin Valvyora sudah memperhitungkan semuanya, entah bagaimana caranya. Kini yang mengganggu pikirannya adalah dua kalimat terakhir dari surat itu. Kira-kira apa maksudnya “giliranmu”? Apa yang bisa dia lakukan?
Synn melirik jam beker di meja sebelah ranjangnya. Pukul enam tepat. Dia meringkas barang-barang di hadapannya, memasukkannya kembali di dalam tas hitam Valvyora, lalu menyimpannya di dalam lemari pakaiannya. Dalam hati dia sedikit bersyukur Feroz belum kembali dari rapatnya sebelum dia selesai membongkar tas Valvyora.
Kembali mengerling ke arah jam bekernya, teringat kembali oleh Synn kejadian siang tadi. Sudah kurang dari enam puluh menit dari waktu yang dijanjikan.
Tak hentinya Synn memikirkan siapa sebenarnya laki-laki itu. Apakah dia memiliki hubungan dengannya? Atau dengan batu Deus? Dan yang terpenting, apakah dia kawan atau lawan?
***
Pukul tujuh tepat, Synn sudah berada di dalam gedung olahraga. Ruangan luas itu gelap, hanya cahaya dari lampu di luar yang menerangi meski sangat minim. Synn berjalan ke tengah lapangan perlahan, sambil memandang berkeliling. Di tempat seluas itu agak sulit merasakan aura satu orang, apalagi jika pada jarak terjauh. Sesampainya di tengah lapangan, dia berhenti, memejamkan matanya, berkonsentrasi pada sekelilingnya, menajamkan instingnya.
Tiba-tiba pintu tempat dia masuk tadi menutup. Synn menoleh kea rah pintu itu. Di depan pintu itu berdiri laki-laki yang berpapasan dengannya di lobby siang tadi. Dalam keremangan Synn menatapnya tajam.
"Kau tepat waktu," ucap laki-laki itu, "Synn Carnelian. Ah tidak, Synn Leishredth." Matanya berkilat tajam ketika menyebut nama asli Synn.
Synn sempat tersentak, tetapi kali ini dia lebih siap. Kalaupun orang yang ada di hadapannya ini adalah musuhnya, dia siap menjatuhkannya, dan bahkan—kalau terdesak—dia siap membunuhnya.
"Siapa kau?" tanya Synn dingin. "Tidak sopan kau menyebut namaku tanpa memberitahu siapa dirimu."
"Benar juga," laki-laki itu tersenyum tajam. "Namaku Refiro Lewis."
"Lalu apa tujuanmu?"
"Aku ingin mengujimu," jawab Refiro. Dia tampak mengeluarkan jam pasir kecil dari saku bajunya.
"Apa maksudmu?" Synn semakin waspada, merasakan aura kekuatan Marv dari jam pasir itu.
Tiba-tiba jam pasir itu bercahaya dan bertransformasi menjadi sebuah sabit besar seperti milik dewa kematian. Sabit yang sama dengan sabit yang melukai tangan kiri Synn. Cahaya itu berangsur menghilang, meninggalkan pantulan cahaya di luar gedung pada mata sabitnya.
"Maksudku, aku akan membunuh Sang Terpilih," Refiro menatap mata Synn tajam. "Aku akan membunuhmu."
Detik berikutnya, Refiro melesat ke arah Synn, mengarahkan sabitnya ke leher Synn. Tetapi Synn dengan sigap menangkisnya dengan tameng dari aura yang dia padatkan, lalu membuangnya ke arah lain. Sabit itu menancap pada lantai lapangan yang licin. Synn melompat menjauh. Refiro mencabut sabitnya dengan kasar, meninggalkan bekas yang dalam pada lantai itu. Melihat itu, Synn melompat ke arah tribun penonton, mengambil jarak yang cukup jauh dari Refiro untuk beberapa saat.
"Kau menghindar?" ucap Refiro dengan nada menghina.
Tanpa menjawab, Synn membuat semacam batas dari padatan aura di sisi dalam ruangan itu. "Setidaknya aku bertarung tanpa menyisakan kerusakan pada medanku bertarung."
"Perhitungan sekali ya," sahut Refiro, tampak tersenyum mengejek. "Tapi kau beri batas seperti ini, berarti kau mengurungku di dalam sini."
"Kau bilang kau ingin membunuhku," jawab Synn, dingin. "Pelindung ini jelas akan hilang jika aku mati. Kalau kau ingin keluar, kau harus membunuhku."
Synn mengumpulkan aura di tangan kanannya, lalu memadatkannya dan menajamkan sisinya, membentuknya menjadi sebilah pedang. Lalu dia melompat turun, berdiri di hadapan Refiro.
"Aku tidak tahu apa alasanmu ingin membunuhku," lanjut Synn. "Tapi yang pasti aku tidak ingin mati begitu saja di tanganmu."
"Menarik," Refiro tersenyum tajam. "Kau menarik sekali. Membuatku semakin bersemangat." Dia mengubah bentuk sabitnya menjadi sebilah pedang agar seimbang, ingin menikmati pertarungan adu kekuatan yang sama dan teknik berpedang.
"Kalau begitu, kita mulai!"
Keduanya bergerak bersamaan, saling mengadu pedang mereka, mengarahkannya ke sisi kosong lawan, menebasnya tanpa ampun, dan menangkis sekuat tenaga. Kekuatan mereka hampir seimbang. Tetapi semakin lama Synn semakin terdesak. Sekuat tenaga Synn mengayunkan pedangnya, menabrak pedang Refiro, lalu melompat mundur.
Synn mulai kelelahan, napasnya memburu, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Tak bisa disangkal kalau stamina Synn masih kalah dibanding Refiro, meskipun Refiro juga mulai kelelahan. Biar bagaimanapun, masih terasa sulit bagi Synn mengimbangi stamina laki-laki.
"Kau hebat juga." Refiro mengatur napasnya. "Tapi tampaknya kau sudah kelelahan. Masih sanggupkah kau membunuhku?"
"Sudah kubilang kan?" sahut Synn, masih tersengal-sengal. "Aku tak ingin mati di tanganmu." Synn mengatur napasnya. "Tapi aku tidak bisa membiarkan orang yang mengetahui rahasiaku begitu saja."
"Sepertinya kau tidak berniat membunuhku. Kalau hanya sebatas 'tak ingin mati' dan 'tidak akan membiarkan', kau tak akan bisa menang."
"Tidak ingin membunuh bukan berarti lemah," sanggah Synn.
"Buktikan. Atau kau akan berakhir di sini."
Synn melompat ke arah Refiro, mengarahkan pedangnya ke leher Refiro, tetapi berhasil ditahan. Refiro memutar pedangnya, membuatnya memiliki kesempatan mengarahkan pedangnya ke dada Synn. Synn mengelak, tetapi lengannya tergores.
Gawat, aku tidak boleh terluka lebih dari ini, pikir Synn.
Refiro kembali menyerang Synn, menghujaninya dengan tebasan pedangnya. Synn semakin terdesak. Akhirnya satu tebasan mendarat di sepanjang dada dan perut Synn. Synn terjatuh, merintih pelan, merasakan sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Darahnya mengalir, menodai pakaiannya, menetes-netes ke aura pembatas di bawahnya. Lukanya tidak terlalu dalam, tetapi semakin mengurangi daya Synn untuk melawan Refiro. Bersamaan dengan itu, lapisan pelindung yang dia buat mulai pudar.
"Ternyata kau memang lemah." Refiro berjalan mendekati Synn, mengarahkan pedangnya di depan leher Synn. "Habislah kau!"
Tidak boleh!!! jerit suara dalam benak Synn.
Kurang dari sedetik, Synn menebaskan pedangnya ke arah Refiro, bersamaan dengan kekuatan auranya, menghempaskan Refiro. Refiro terpental jauh, menabrak dinding gedung, lalu terjatuh ke bawah. Pedangnya terjatuh beberapa meter dari tempat Refiro terjatuh.
Synn menghampiri Refiro, yang perlahan berusaha bangkit. Refiro merasakan sakit di sekujur tubuhnya, meskipun tak ada luka sedikitpun. Synn mengarahkan pedangnya ke leher Refiro.
"Tunggu apa lagi? Kenapa tidak langsung kau tebas saja?"
"Kau bilang kau mengujiku," ucap Synn, menyipitkan matanya. "Kalau aku membunuhmu, aku tidak akan mengetahui apapun."
"Begitu ya," Refiro tersenyum kecut.
Synn diam, menunggu penjelasan dari Refiro, menarik pedangnya dari leher Refiro.
"Kekuatan Sang Terpilih memang hebat. Seharusnya aku tidak mengujimu, apalagi membuatmu terluka."
Synn mengerutkan dahinya. "Aku tidak paham. Kenapa kau mengujiku dan kenapa kau menyebutku 'Sang Terpilih'?"
"Rupanya kau benar-benar tidak tahu apa-apa." Refiro terdiam sejenak, lalu menatap mata Synn lekat-lekat. "Kau adalah pemeran utama yang terkait erat dengan akhir dari Edelstein."