Selasa, 19 Oktober 2010

Chapter 2 – The Assaulter

Seseorang berjubah putih duduk di kursi di salah satu sisi ruangan yang mirip aula itu. Empat orang lainnya tampak berdiri di hadapannya, juga memakai jubah putih.
         Aula itu terlihat sedikit tidak nyata, dindingnya sedikit tertutup kabut dan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk. Kelima orang itupun hanya terlihat samar-samar dalam keremangan.
         “Belum kau temukan, Masqurade?” tanya laki-laki yang duduk di kursi.
         “Belum,” jawab laki-laki yang berdiri paling kiri. “Padahal menyusup di antara siswa di sekolah itu jauh lebih mudah daripada harus sekolah di sana.”
         “Kau sih dasarnya malas sekolah,” sahut anak perempuan yang jauh lebih pendek di sebelahnya.
         “Kau tahu itu merepotkan,” balas Masqurade, tampak tersenyum yang mirip senyuman palsu dalam keremangan.
         “Hypno, bagaimana denganmu?” tanya perempuan yang lebih tinggi di sebelahnya.
         “Aku rasa akulah yang paling sulit menemukannya,” jawab si anak perempuan. “Waktuku lebih banyak di bagian sekolah dasar. Padahal orang yang kita cari itu seumuranmu kan.”
         “Memang yang lebih mudah menemukannya itu Masqurade, Metallist—akan lebih mudah jika dia menjadi siswa Grazzleford, dan kau sendiri, Lightning,” komentar laki-laki tertinggi yang berdiri di sisi paling kanan.
         “Ya, kau benar, Illusion,” jawab laki-laki yang duduk di depan keempat rekannya. “Tapi aku pun belum berhasil menemukannya.”
         “Sesulit itukah?” ucap Hypno, tertunduk.
         “Tapi tadi pagi,” sambung Lightning, “aku merasa ada yang menggunakan kekuatan Marv di lingkungan Grazzleford.”
         Keempat orang itu serentak terkejut.
         “Bukankah sejak kita masuk ke sekolah ini, tidak sekalipun kau merasakan kekuatan Marv selain kami?” sahut Metallist, mengernyitkan dahinya.
         “Itu benar,” jawab Lightning datar.
         “Berarti mungkin saja itu ‘dia’,” sahut Hypno.
         “Mungkin saja.” Dalam keremangan Lightning menerawang ke luar jendela aula itu.
         Selama beberapa saat kelima orang itu terkunci dalam kesunyian. Tak ada satupun yang bicara.
         “Negeri ini benar-benar aneh,” ucap Lightning, memecah keheningan. “Sistemnya begitu teratur, disokong lima batu utama yang ada di lima wilayah berbeda. Tetapi gara-gara kemunculan satu batu saja sistemnya langsung goyah. Bahkan sang gadis abadi pun tertidur bertahun-tahun, entah kapan akan terbangun—dan bahkan mungkin tidak akan terbangun sampai takdir dunia ini jelas.”
         “Sejujurnya aku tidak peduli pada dunia ini,” ucap Hypno dingin. “Tak ada sesuatu yang berharga yang bisa dipertahankan.”
         “Bukankah untuk itu kita semua di sini?” sahut Masqurade, masih dengan senyum palsunya.
         “Ya, takdir dunia ini tak bisa diubah,” Lightning menatap mereka berempat,bahkan oleh Sang Terpilih. Tapi aku ada untuk memastikan dia menjalankan tugasnya.”



***



Pagi-pagi sekali Synn sudah berada di kelas. Kelas masih sangat sepi. Dia adalah penghuni kelasnya yang pertama dan satu-satunya saat itu. Synn duduk di bangkunya yang posisinya tepat di sebelah jendela. Dari sana ia dapat melihat satu-satunya pohon cruz di sekolah itu.
         "Pagi, Synn," sapa seorang gadis yang mulai akrab dengannya sejak pembicaraan serius kemarin siang. Tapi itu juga karena Synn merasa ia memiliki ikatan yang erat dengannya. "Kau selalu datang pagi, ya."
         "Pagi, Valv," jawab Synn.
         "Bagaimana tanganmu?"
         "Sudah lebih baik," balas Synn, tersenyum.
         "Aku bawa sesuatu untukmu." Valvyora menyodorkan tas tenteng hitam seukuran tas laptop ke atas meja Synn.
         "Apa ini?"
         Valvyora memandang berkeliling, memastikan tak ada orang lain yang bisa mendengar pembicaraan mereka. "Ini cara kita bisa bicara berdua tanpa didengar siapapun."
         "Eh?" Synn mengernyit, tidak mengerti.
         "Setelah sekolah berakhir, cepatlah kembali ke kamar asramamu," Valvyora merendahkan suaranya. "Hari ini teman sekamarmu, Feroz, ada rapat dewan siswa sepulang sekolah. Kau tidak akan perlu repot-repot menyembunyikan ini darinya. Di dalam tas itu sudah aku tulis semua caranya. Bacalah dan lakukanlah."
         "I-iya." Synn masih ragu, benar-benar tidak mengerti.
         "Kalau begitu, aku tunggu," sahut Valvyora, tersenyum, lalu berjalan keluar kelas meninggalkan Synn sendirian di dalam kelas.
         Synn menatap tas itu, masih bingung. Lalu ia meletakkan tas itu di samping bangkunya, di sisi dekat jendela.
         Sempat terlintas dalam benak Synn, apa yang membuat ia tidak bisa merasakan aura Valvyora ketika ia berada di dekatnya. Synn yakin Valvyora bukan Marv seperti dirinya, tapi kalau dia manusia biasa harusnya dia bisa merasakan hawa Valvyora ketika ia mendekat.
         Lalu pikirannya beralih kepada seseorang yang menyerangnya kemarin. Synn yakin orang yang menyerangnya kemarin juga adalah seorang Marv, meski saat itu penyerangnya tidak menggunakan kekuatannya. Tapi pertanyaannya, siapa dia dan apa alasan orang itu menyerang dirinya?
         Matanya kembali menatap pohon cruz di bawah. Sejenak dia berharap bisa berkomunikasi dengan kakaknya melalui pohon itu. Tapi itu mustahil. Secanggih apapun teknologi yang dimiliki negerinya, tidak akan pernah ada cara untuk menghidupkan orang yang sudah mati ataupun berkomunikasi dengan mereka.
         Sedikit perih dalam hatinya, mengetahui dirinya kini harus berjuang sendirian. Orang-orang yang paling dikasihinya harus pergi meninggalkannya tanpa memberi penjelasan tentang mengapa dan harus bagaimana. Itu membuatnya semakin merasa sebatang kara.
         Lamunannya pun terhenti oleh bel tanda pelajaran pertama dimulai. Mau tidak mau dia harus kembali ke masa kini dan menjalani apa yang sudah ada di depan mata.



***



Dengan langkah cepat, Synn segera kembali ke kamar asramanya. Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui cara dia berbicara dengan Valvyora tanpa diketahui siapapun dan berapa lama rapat yang diikuti Feroz berlangsung. Dia hanya berharap semoga waktunya sempat.
         Synn menyusuri jalan menuju gedung asrama, lalu memasuki lobby. Dia sempat tersentak ketika melangkahkan kakinya memasuki lobby. Ada aura seseorang yang dia kenali, seseorang yang ia temui di Grazzleford Campus, orang yang menyerangnya kemarin pagi. Synn hapal betul aura orang yang menyerangnya. Tetapi ruangan itu sudah mulai dipenuhi siswa laki-laki. Sulit memastikan yang mana orangnya.
         Synn memperlambat langkahnya, mengulur waktu melewati lobby sebelum masuk ke lift. Tetap waspada, Synn memperhatikan sekelilingnya, menajamkan pandangannya. Tinggal beberapa meter sebelum masuk lift, Synn masih belum menemukan orang yang ia cari. Dia ingin memperlambat lagi langkahnya dan bahkan ingin berhenti. Tapi kalau itu dilakukannya, bisa menarik perhatian orang yang dicarinya.
         Semakin banyak siswa yang berlalu-lalang tak beraturan, membuat Synn putus asa. Akhirnya dia menyerah dan menormalkan tempo langkahnya. Synn lalu berpapasan dengan seorang siswa yang lebih tinggi darinya. Ketika posisi laki-laki itu cukup dekat dengan telinga Synn, ia berbisik, "Kutunggu di gedung olahraga, jam 7 malam ini."
         Synn tersentak, menoleh ke arah orang ituyang tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Tiba-tiba Synn merasa agak merinding, merasakan aura dari penyerangnya kemarin sama dengan laki-laki tadi. Tetapi ia tahu ia harus memastikan apa maksud orang itu. Meskipun dia harus bertarung habis-habisan untuk memperoleh jawabannya.
         Duduk bersila di atas ranjang di kamarnya, Synn agak terbengong-bengong memandangi apa yang ada di depannya. Tas hitam dari Valvyora tergeletak di bawah ranjang, sudah kosong. Barang-barang yang tadinya berada di dalam tas itu sudah berjajar di atas ranjang, di depan Synn. Sepotong baju tidur perempuan yang berupa rok terusan, sebuah wig hitam lurus panjang, dan kacamata normal. Sedangkan kertas yang juga salah satu bagian dari isi tas itu berada di tangan Synn, berisi tulisan tangan Valvyora.
        

         Kau mungkin agak terkejut dengan isi tas ini, tapi ini cara terbaik yang terpikirkan. Dua hari lagi pukul 12 malam masuklah ke lobby asrama putri memakai perlengkapan yang ada di dalam tas. Kutunggu di sana.
         Jangan khawatir soal sistem keamanan. Asal tak ada yang melihatmu, semua akan aman. Setelah masuk ke kamar asramaku, itu giliranmu. Aku yakin kau bisa.
Valvyora


         Synn membaca ulang tulisan Valvyora. Dia benar-benar bingung. Mustahil menembus sistem keamanan Grazzleford, apalagi di tengah malam begitu. Tetapi dia mulai berpikir mungkin Valvyora sudah memperhitungkan semuanya, entah bagaimana caranya. Kini yang mengganggu pikirannya adalah dua kalimat terakhir dari surat itu. Kira-kira apa maksudnya “giliranmu”? Apa yang bisa dia lakukan?
         Synn melirik jam beker di meja sebelah ranjangnya. Pukul enam tepat. Dia meringkas barang-barang di hadapannya, memasukkannya kembali di dalam tas hitam Valvyora, lalu menyimpannya di dalam lemari pakaiannya. Dalam hati dia sedikit bersyukur Feroz belum kembali dari rapatnya sebelum dia selesai membongkar tas Valvyora.
         Kembali mengerling ke arah jam bekernya, teringat kembali oleh Synn kejadian siang tadi. Sudah kurang dari enam puluh menit dari waktu yang dijanjikan.
         Tak hentinya Synn memikirkan siapa sebenarnya laki-laki itu. Apakah dia memiliki hubungan dengannya? Atau dengan batu Deus? Dan yang terpenting, apakah dia kawan atau lawan?



***



Pukul tujuh tepat, Synn sudah berada di dalam gedung olahraga. Ruangan luas itu gelap, hanya cahaya dari lampu di luar yang menerangi meski sangat minim. Synn berjalan ke tengah lapangan perlahan, sambil memandang berkeliling. Di tempat seluas itu agak sulit merasakan aura satu orang, apalagi jika pada jarak terjauh. Sesampainya di tengah lapangan, dia berhenti, memejamkan matanya, berkonsentrasi pada sekelilingnya, menajamkan instingnya.
         Tiba-tiba pintu tempat dia masuk tadi menutup. Synn menoleh kea rah pintu itu. Di depan pintu itu berdiri laki-laki yang berpapasan dengannya di lobby siang tadi. Dalam keremangan Synn menatapnya tajam.
         "Kau tepat waktu," ucap laki-laki itu, "Synn Carnelian. Ah tidak, Synn Leishredth." Matanya berkilat tajam ketika menyebut nama asli Synn.
         Synn sempat tersentak, tetapi kali ini dia lebih siap. Kalaupun orang yang ada di hadapannya ini adalah musuhnya, dia siap menjatuhkannya, dan bahkankalau terdesak—dia siap membunuhnya.
         "Siapa kau?" tanya Synn dingin. "Tidak sopan kau menyebut namaku tanpa memberitahu siapa dirimu."
         "Benar juga," laki-laki itu tersenyum tajam. "Namaku Refiro Lewis."
         "Lalu apa tujuanmu?"
         "Aku ingin mengujimu," jawab Refiro. Dia tampak mengeluarkan jam pasir kecil dari saku bajunya.
         "Apa maksudmu?" Synn semakin waspada, merasakan aura kekuatan Marv dari jam pasir itu.
         Tiba-tiba jam pasir itu bercahaya dan bertransformasi menjadi sebuah sabit besar seperti milik dewa kematian. Sabit yang sama dengan sabit yang melukai tangan kiri Synn. Cahaya itu berangsur menghilang, meninggalkan pantulan cahaya di luar gedung pada mata sabitnya.
         "Maksudku, aku akan membunuh Sang Terpilih," Refiro menatap mata Synn tajam. "Aku akan membunuhmu."
         Detik berikutnya, Refiro melesat ke arah Synn, mengarahkan sabitnya ke leher Synn. Tetapi Synn dengan sigap menangkisnya dengan tameng dari aura yang dia padatkan, lalu membuangnya ke arah lain. Sabit itu menancap pada lantai lapangan yang licin. Synn melompat menjauh. Refiro mencabut sabitnya dengan kasar, meninggalkan bekas yang dalam pada lantai itu. Melihat itu, Synn melompat ke arah tribun penonton, mengambil jarak yang cukup jauh dari Refiro untuk beberapa saat.
         "Kau menghindar?" ucap Refiro dengan nada menghina.
         Tanpa menjawab, Synn membuat semacam batas dari padatan aura di sisi dalam ruangan itu. "Setidaknya aku bertarung tanpa menyisakan kerusakan pada medanku bertarung."
         "Perhitungan sekali ya," sahut Refiro, tampak tersenyum mengejek. "Tapi kau beri batas seperti ini, berarti kau mengurungku di dalam sini."
         "Kau bilang kau ingin membunuhku," jawab Synn, dingin. "Pelindung ini jelas akan hilang jika aku mati. Kalau kau ingin keluar, kau harus membunuhku."
         Synn mengumpulkan aura di tangan kanannya, lalu memadatkannya dan menajamkan sisinya, membentuknya menjadi sebilah pedang. Lalu dia melompat turun, berdiri di hadapan Refiro.
         "Aku tidak tahu apa alasanmu ingin membunuhku," lanjut Synn. "Tapi yang pasti aku tidak ingin mati begitu saja di tanganmu."
         "Menarik," Refiro tersenyum tajam. "Kau menarik sekali. Membuatku semakin bersemangat." Dia mengubah bentuk sabitnya menjadi sebilah pedang agar seimbang, ingin menikmati pertarungan adu kekuatan yang sama dan teknik berpedang.
         "Kalau begitu, kita mulai!"
         Keduanya bergerak bersamaan, saling mengadu pedang mereka, mengarahkannya ke sisi kosong lawan, menebasnya tanpa ampun, dan menangkis sekuat tenaga. Kekuatan mereka hampir seimbang. Tetapi semakin lama Synn semakin terdesak. Sekuat tenaga Synn mengayunkan pedangnya, menabrak pedang Refiro, lalu melompat mundur.
         Synn mulai kelelahan, napasnya memburu, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Tak bisa disangkal kalau stamina Synn masih kalah dibanding Refiro, meskipun Refiro juga mulai kelelahan. Biar bagaimanapun, masih terasa sulit bagi Synn mengimbangi stamina laki-laki.
         "Kau hebat juga." Refiro mengatur napasnya. "Tapi tampaknya kau sudah kelelahan. Masih sanggupkah kau membunuhku?"
         "Sudah kubilang kan?" sahut Synn, masih tersengal-sengal. "Aku tak ingin mati di tanganmu." Synn mengatur napasnya. "Tapi aku tidak bisa membiarkan orang yang mengetahui rahasiaku begitu saja."
         "Sepertinya kau tidak berniat membunuhku. Kalau hanya sebatas 'tak ingin mati' dan 'tidak akan membiarkan', kau tak akan bisa menang."
         "Tidak ingin membunuh bukan berarti lemah," sanggah Synn.
         "Buktikan. Atau kau akan berakhir di sini."
         Synn melompat ke arah Refiro, mengarahkan pedangnya ke leher Refiro, tetapi berhasil ditahan. Refiro memutar pedangnya, membuatnya memiliki kesempatan mengarahkan pedangnya ke dada Synn. Synn mengelak, tetapi lengannya tergores.
         Gawat, aku tidak boleh terluka lebih dari ini, pikir Synn.
         Refiro kembali menyerang Synn, menghujaninya dengan tebasan pedangnya. Synn semakin terdesak. Akhirnya satu tebasan mendarat di sepanjang dada dan perut Synn. Synn terjatuh, merintih pelan, merasakan sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Darahnya mengalir, menodai pakaiannya, menetes-netes ke aura pembatas di bawahnya. Lukanya tidak terlalu dalam, tetapi semakin mengurangi daya Synn untuk melawan Refiro. Bersamaan dengan itu, lapisan pelindung yang dia buat mulai pudar.
         "Ternyata kau memang lemah." Refiro berjalan mendekati Synn, mengarahkan pedangnya di depan leher Synn. "Habislah kau!"
         Tidak boleh!!! jerit suara dalam benak Synn.
         Kurang dari sedetik, Synn menebaskan pedangnya ke arah Refiro, bersamaan dengan kekuatan auranya, menghempaskan Refiro. Refiro terpental jauh, menabrak dinding gedung, lalu terjatuh ke bawah. Pedangnya terjatuh beberapa meter dari tempat Refiro terjatuh.
         Synn menghampiri Refiro, yang perlahan berusaha bangkit. Refiro merasakan sakit di sekujur tubuhnya, meskipun tak ada luka sedikitpun. Synn mengarahkan pedangnya ke leher Refiro.
         "Tunggu apa lagi? Kenapa tidak langsung kau tebas saja?"
         "Kau bilang kau mengujiku," ucap Synn, menyipitkan matanya. "Kalau aku membunuhmu, aku tidak akan mengetahui apapun."
         "Begitu ya," Refiro tersenyum kecut.
         Synn diam, menunggu penjelasan dari Refiro, menarik pedangnya dari leher Refiro.
         "Kekuatan Sang Terpilih memang hebat. Seharusnya aku tidak mengujimu, apalagi membuatmu terluka."
         Synn mengerutkan dahinya. "Aku tidak paham. Kenapa kau mengujiku dan kenapa kau menyebutku 'Sang Terpilih'?"
         "Rupanya kau benar-benar tidak tahu apa-apa." Refiro terdiam sejenak, lalu menatap mata Synn lekat-lekat. "Kau adalah pemeran utama yang terkait erat dengan akhir dari Edelstein."

Jumat, 08 Oktober 2010

Chapter 1 - PROLOG



"Synn, larilah!!"
"Tidak! Ayah! Ibu!"

         Synn terkejut, terbangun dari tidurnya. Mimpi, pikirnya. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Tangannya gemetar. Napasnya memburu, seolah baru saja berlari berpuluh-puluh kilometer. Tetap dalam posisi berbaring yang sama, ia mengatur napasnya. Diliriknya jam digital di meja di samping tempat tidurnya. Masih pukul empat pagi. Tapi dia memilih untuk bangkit, duduk di tepi ranjangnya.
         Di luar masih gelap, matahari tampak masih malu-malu menampakkan dirinya. Synn tertunduk, merasa masih sangat mengantuk. Tapi menambah kembali jam tidurnya saat itu sangat beresiko, meskipun hanya satu jam. Selain beresiko terlambat masuk kelas, rahasianya juga bisa terbongkar. Apalagi dalam situasi seperti itu.
         Synn melirik ranjang di seberang ranjangnya. Di sana teman sekamarnya berbaring menghadap dinding, membelakangi Synn, masih terlelap. Synn belum sempat berkenalan dengannya. Malam sebelumnya teman sekamarnya itu masih harus mengikuti kegiatan di luar asrama—entah apa itu—ketika Synn tiba, dan baru kembali ke kamar setelah Synn terlelap. Akhirnya saling menyapa pun mereka belum sempat.
         Berpaling dari pandangannya, Synn berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar asramanya. Setelah yakin pintunya terkunci, ia melepas baju tidurnya dan berdiri di depan cermin yang merefleksikan tubuhnya sampai sebatas pinggang.
         Tampak dalam cermin sosok seorang remaja berambut cokelat pendek yang jika hanya dilihat dari wajahnya, tidak mudah dipastikan apakah ia laki-laki atau perempuan. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran remaja cowok. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya dia memang perempuan. Hanya saja karena suatu alasan yang berat, dia terpaksa harus berpenampilan seperti laki-laki, masuk ke Grazzleford High School sebagai siswa laki-laki, dan harus sekamar dengan sesama siswa laki-laki.
         Sepertinya dari sini penyamaranku akan jadi semakin sulit, gumam Synn. Apalagi harus sekamar dengan cowok. Kemungkinan ketahuan itu sangat besar.
Synn menghela napas panjang. Ia lalu melepas kain yang dibelitkan di dadanya, yang digunakan untuk membuat dadanya tampak datar, lalu mandi.
         "Pagi sekali kau bangun," sapa teman sekamar Synn, ketika Synn baru keluar dari kamar mandi. Cowok itu masih terduduk di tempat tidurnya.
         "Ah, iya. Aku terbangun tadi," jawab Synn sedikit gugup. Beruntung suara Synn juga agak rendah, jadi tidak terlalu mencolok kalau dia perempuan.
         "Maaf, aku kemarin sibuk. Aku Feroz March, panggil saja Feroz," ucap si cowok.
         "Aku Synn, Synn LeierCarnelian. Synn Carnelian," balas Synn, hampir salah menyebut namanya.
         "Kau baru pindah ke kota Pearl kan? Dari mana?" tanya Feroz.
         "Dari kota Jade."
         "Jade di Green State itu ya?"
         "Iya."
         "Jauh juga ya. Oke, sekarang giliranku mandi," ucap Feroz, lalu beranjak menuju kamar mandi.
         Dalam hati Synn bersyukur teman sekamarnya itu tidak bertanya yang aneh-aneh mengenai dirinya. Sepertinya untuk saat ini dia tidak perlu terlalu khawatir. Tetapi untuk selanjutnya, dia tetap harus berhati-hati.


***


Synn menyusuri jalan menuju gedung sekolahnya yang tak jauh dari gedung asrama. Halaman masih sepi, hanya terlihat  beberapa siswa yang berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Itu bisa dikenalinya dari warna dasi dan seragam Grazzleford yang berbeda-beda.
         Tiba-tiba mata Synn tertuju pada sebatang pohon agak jauh dari tempatnya berdiri. Pohon itu kekar dan sangat rindang. Synn menyipitkan matanya, perlahan merasa rindu. Ia menghampiri pohon itu lalu duduk bersandar di bawahnya.
         "Kak, aku sudah ada di tempat ini," gumamnya pada pohon yang memiliki nama yang sama dengan kakaknya, Cruz. Perlahan semilir angin menyentuh pipi Synn lembut, seolah menyapanya. Synn memejamkan matanya, menikmati angin yang menerpa wajahnya.
         Tiba-tiba Synn merasa ada arah angin yang berbeda. Ia membuka matanya dan... CRAK, seseorang berjubah putih melayangkan sebuah sabit besar dan menancap tepat di tempat Synn duduk beberapa detik lalu, membuat luka yang cukup dalam pada batang pohon cruz. Synn berhasil menghindar, berguling ke samping menjauhi penyerangnya. Ia terkejut dan bingung. Tetapi belum sempat Synn membalas, si penyerang dengan cepat melayangkan kembali sabitnya ke arah Synn dan berhasil melukai punggung tangan kiri Synn.
         Synn sempat melihat wajah si penyerangnya ditutupi topeng setengah wajah. Ia lalu memadatkan dan menajamkan aura di sekitar tangan kanannya dan mengarahkannya ke topeng si penyerang. Synn berhasil membuat topengnya retak, tetapi si penyerang segera melarikan diri sebelum wajahnya terlihat oleh Synn.
         "Tunggu!!" teriak Synn, menembakkan kekuatan auranya ke arah si penyerang. Sayang tembakannya meleset dan ia terpaksa membiarkannya pergi tanpa mengerti apapun.
         Darah menetes-netes dari luka yang ditinggalkan oleh si penyerang di tangan Synn. Tetapi Synn tidak mempedulikan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh lengannya. Ia malah menghampiri pohon cruz dan menyentuh lembut luka yang juga didapatnya dari si penyerang. Synn memandang goresan yang cukup dalam itu dengan ekspresi menyesal, lalu menyelubunginya dengan aura dari tangannya. Perlahan goresan itu menutup sampai akhirnya hilang sama sekali. Tetapi pada saat yang sama luka Synn semakin parah. Darah yang menetes semakin banyak. Ia memegangi lukanya, berharap darahnya mau berhenti.
         "Ah, kau terluka?" seru seorang gadis yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Synn. Synn terkejut, ia tidak merasakan aura kehadiran gadis itu sebelum dia menyapanya. Dalam hati Synn berharap si gadis tidak melihat apa yang dilakukannya tadi terhadap pohon cruz. "Ayo cepat ke ruang kesehatan!"
         "Ti-tidak usah," tolak Synn. Ia khawatir jika ditanya bagaimana ia bisa terluka.
         "Kau bisa kehabisan darah," ucap si gadis serius, lalu menarik lengan Synn yang tidak terluka dan membawanya ke ruang kesehatan.
         Aroma alkohol dan obat-obatan tercium dari ruangan itu. Tidak ada seorangpun di sana. Si gadis membantu Synn, yang mulai merasa pusing, duduk di ranjang dekat jendela. Gadis itu lalu mengambil obat pembersih luka, kapas, dan perban, lalu mulai membersihkan luka Synn.
         "Lukamu cukup dalam," komentar si gadis, ketika ia selesai membersihkan darah di permukaan luka Synn. "Ini harus dijahit."
         "Eh?" Synn agak terkejut. Ia berpikir jangan-jangan ia harus ke rumah sakit, dan itu berarti banyak orang akan tahu kalau ia baru saja dilukai seseorang. "La-lalu..?"
         Gadis itu berdiri dan mulai mencari sesuatu di lemari-lemari di ruangan itu, lalu kembali ke hadapan Synn dengan memakai sarung tangan dan membawa jarum suntik, alkohol, botol kecil berisi cairan bening, jarum, dan benang.
         "Kau mau melakukannya sendiri?" ucap Synn agak tegang.
         "Tenang saja, aku benar-benar bisa melakukannya," jawab gadis itu tenang. "Beruntung sekali di sini peralatan medisnya cukup lengkap. Biasanya langsung ditangani dokternya, tapi sepagi ini dia jelas belum datang. Makanya, aku mau kau percaya padaku."
         Mata biru Synn bertemu dengan mata cokelat gadis itu. Saat itulah tiba-tiba Synn merasa ia bisa mempercayai gadis itu. Synn pun mengangguk, "Baiklah."
         Dengan cekatan gadis itu menangani luka Synn. Dia membius lokal tangan Synn, lalu mulai menjahit luka Synn. Jahitannya sangat rapi, seolah lukanya dijahit oleh seorang ahli bedah.
         Synn memperhatikan si gadis yang tengah berkonsentrasi menjahit lukanya. Dia merasa pernah melihat seseorang yang memiliki mata yang sama dengan gadis itu, mata cokelat yang dalam. Tapi dia tidak bisa mengingatnya. Warna rambutnya yang keperakan juga mengingatkannya akan seseorang.
         "Selesai," ucap si gadis. "Bagaimana? Kerjaku bagus kan?"
         "Ya," jawab Synn. "Terima kasih."
         "Mungkin sekarang belum terasa apa-apa, tapi nanti pasti akan mulai terasa sakit." Gadis itu meringkas semua peralatan yang ia pakai, lalu mengembalikannya ke tempatnya di simpan. "Oya, kau siswa baru ya? Aku belum pernah melihatmu."
         "Ya, aku baru mulai masuk hari ini."
         "Siapa namamu?"
         "Synn Carnelian." Tiba-tiba gadis itu menjatuhkan botol alkohol dan langsung pecah berantakan. "Kau tidak apa-apa?" Synn memaksa berdiri, ingin membantu si gadis, tetapi kepalanya masih pusing.
         "Tidak usah," sahutnya cepat. "Akan kubereskan sendiri."
         Synn terdiam sejenak. Sempat bingung dengan sikap gadis itu.
         "Maaf, membuatmu kaget. Kadang-kadang aku memang ceroboh," ucap si gadis, selesai membersihkan pecahan-pecahan kaca botol alkohol, lalu duduk di sebelah Synn. "Aku Valvyora Syezierch. Panggil saja Valvyora. Kau masuk di kelas mana?"
         "Kelas 2-4."
         "Berarti kita sekelas. Kalau begitu kita bisa sama-sama ke kelas. Apa kita ke kelas sekarang saja? Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Bagaimana lukamu?"
         "Mulai terasa sakit. Tapi tidak apa-apa. Untung saja yang terluka tangan kiri," ucap Synn, tersenyum.
         "Oya Synn, sebelum ke kelas aku...," tiba-tiba kata-kata Valvyora terputus.
         "Ya..?" Synn semakin penasaran dengan sikap Valvyora.
         "Ah, tidak jadi. Mungkin lain kali. Ayo, kita ke kelas."



***



Bel tanda istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Dengan membawa roti dan jus kemasan kaleng yang baru ia beli di kafetaria, Synn berjalan menuju pohon cruz yang tadi pagi ia pulihkan dengan kekuatannya, lalu duduk bersandar di bawahnya. Dia menggigit rotinya, lalu menengadah, memperhatikan dedaunan pohon cruz yang bergesekan tertiup angin.
         “Kak, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” gumam Synn. “Sebenarnya apa hubunganku dengan batu itu?”
         “Hai, Synn,” sapa seorang gadis yang baru ia kenal tadi pagi. Lagi-lagi Synn tidak merasakan hawa kedatangannya. “Boleh aku duduk di sebelahmu?”
         “Boleh,” jawab Synn pendek. Valvyora lalu duduk di sebelah kanan Synn, membuka kotak bekalnya yang berisi beberapa kue manis.
         “Kau mau?” Valvyora menyodorkan kotak bekalnya pada Synn.
         “Tidak usah, terima kasih.”
         “Tadi pagi aku menemukanmu berdiri di bawah pohon ini juga. Apa kau punya kenangan khusus dengan pohon ini ?”
         Synn agak tersentak. “Bagaimana kau bisa menebak begitu?”
         “Dari ekspresimu waktu memandang pohon ini.”
         “Rupanya kau begitu teliti ya.” Valvyora tersenyum. “Kakakku memiliki nama yang sama dengan pohon ini. Berada di dekatnya aku merasa seperti berada di samping kakakku.”
         “Apa kakakmu sekarang ada di kota Jade?”
         “Tidak. Dia sudah meninggal.”
         “Ah, maafkan aku. Aku sudah lancang bertanya,” Valvyora menunduk, merasa sangat bersalah.
         “Tidak apa-apa kok. Jangan merasa tidak enak,” ucap Synn, tersenyum.
         Synn sempat berpikir Valvyora adalah orang yang menyenangkan. Tapi ia masih merasa khawatir jika saja gadis itu sudah memperhatikannya sejak ia diserang oleh orang yang tidak ia kenal dan melihat ia menyembuhkan pohon cruz. Ditambah lagi Valvyora tidak menyinggung soal itu. Belum bisa dipastikan itu berarti dia tidak menyaksikan apa-apa.
         “Ng, Synn. Boleh aku bicara sesuatu?”
         Hati Synn mencelos. Jangan-jangan dia benar-benar melihat semuanya, batin Synn.
         “Boleh,” jawab Synn, berusaha tenang meskipun jelas dia tegang.
         “Eum, aku bingung harus bicara dari mana.” Valvyora memutar matanya, tampak berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku tahu posisi beberapa orang di masa sekarang ini bisa sangat sulit. Bahkan untuk percaya pada orang pun sangat sulit, apalagi jika baru kenal. Tapi aku minta kau percaya padaku.”
         “Jadi, arah pembicaraanmu ini ke mana?” tanya Synn, sedikit defensif.
         “Kau Synn Leishredth kan?”
         Mata Synn terbelalak, secara refleks berdiri, menatap mata Valvyora serius. “Kau...”
         “Sudah kuduga reaksimu akan begini,” ucap Valvora tenang, seolah kata-kata dia sebelumnya bukan sesuatu yang mengancam jiwa orang lain.
         “Apa maumu?” tanya Synn dingin, masih mengunci pandangannya pada mata Valvyora.
         “Aku mohon percayalah padaku. Aku tahu nama aslimu adalah rahasia. Aku berjanji tidak akan mengatakannya pada orang lain. Karena itu percayalah padaku. Sebab mungkin ada informasi yang bisa aku beritahukan padamu.”
         “Apa itu?” sikap defensif Synn mulai berkurang.
         Valvyora meraih tangan Synn lalu menariknya hingga Synn jatuh terduduk di sampingnya. “Aku tak bisa memberitahumu di sini,” bisiknya. “Di sini tidak aman. Di sekolah ini juga mungkin ada Marv lain yang bisa mendengar pembicaraan kita.”
         “Lalu..?”
         “Nanti aku akan memberitahumu kapan kita bisa bicara dengan aman. Tapi percayalah, aku ada di pihakmu.”
         “Sebentar,” Synn menarik dirinya sedikit dari Valvyora. “Darimana kau tahu ini semua? Sebenarnya siapa kau?”
         “Mungkin kau bisa mengingat nama seorang dokter yang sama dengan nama keluargaku.”
         Mata Synn terbelalak memandang wajah Valvyora, menemukan nama Syezierch di dalam memorinya. Nama seorang dokter yang pernah menyelamatkan nyawanya lima tahun lalu.
         “Itu ayahku,” sambung Valvyora. “Almarhum ayahku.”
         "Ayahmu?" Synn heran sekaligus terkejut.
         Sesaat keduanya terdiam. Synn tidak sanggup berkata apa-apa. Sedangkan Valvyora menunggu reaksi Synn.
          Tiba-tiba bel tanda istirahat berakhir berbunyi, memecah kebisuan di antara mereka berdua.
         "Baiklah Synn," Valvyora menutup kotak bekalnya, lalu berdiri. "Akan aku pikirkan bagaimana kita bisa bicara dengan aman. Ayo, kita kembali ke kelas."
         Tanpa bicara, Synn berdiri, berjalan mengikuti Valvyora menuju kelasnya. Synn bertanya-tanya sebenarnya informasi apa yang dimiliki gadis berambut perak itu.